Alhamdulillah, sholawat serta salam semoga senantiasa terclimpah atas Baginda Rasulullah SAW.
Segala amal yang tanpa didasari ilmu akan tertolak dan tidak diterima, bahkan dalam Kitab Ta’lim Muta’alim yang baru saja kita ikuti kemarin disebutkan :
ﻓﺈﻦﺍﻴﻣﺎﻦﺍﻠﻣﻗﻠﺩ ﻮﺍﻦﻛﺎﻦﺼﺤﻴﺣﺎﻋـﻨﺩ ﻨﺎ ﻠﻛﻦ ﻴﻛﻮﻦﺁﺛﻣﺎ ﺒﺘﺮﻚ ﺍﻻﺳﺗﺪﻻ ﻞ
“Mongko setuhune imane muqolid ( wong kang taqlid-anut grubyug-) senajan imane iku sah mungguh ingsun (musonef : peyusun kitab Ta’lim) anging tetapine muqolid iku kalebu wong kang dosa , sebab ninggal ngalap dalil.”
“Sesungguhnya keimanan muqolid (orang yang taqlid/ hanya ikut-ikutan) walupun dianggap sah, namun muqolid tersebut termasuk orang yang berbuat dosa besar disebabkan keimanannya yang tanpa dalil.”
Dalam hal inilah Muslim Muslimah membutuhkan seorang “Guru” –‘Ulama/ Kiai- untuk mendalami ilmu Islam sendiri yang tentunya dengan dalil-dalil yang jelas. Seorang Muslim dituntut pula berhati-hati dalam memilih “Guru” untuk meyelamatkan imannya, namun proses mencari, memilih dan menentukan tersebut tidak perlu disertai dengan menilai dan membanding-bandingkan ‘Ulama. Abah Syeikh sering ngendikan, “Saiki akeh wong sing ngakune kenal akeh Kiai, tapi malah ora netepi haq-haqe Kiai.”. Proses mencari dan menentukan pilihan hendaknya tidak menjebak diri pada sikap membanding-bandingkan.
“Mengaji” Instan, Rawan Pendistorsian.
Karena keterbatasannya memahami makna “mengaji”, umat Islam sekarang menganggap suatu majlis yang para jama’aahnya membaca tahlil dan membaca surat Yaasin saja sudah dikatakan “mengaji”, mendengarkan ceramah seorang Ustadz di statsiun televisi juga sudah mereka pahami sebagai “mengaji”, yang lebih ironis lagi mereka yang hanya sekedar membaca buku atau mendengarkan kaset/vcd mengenai bacaan Al-Qur’an juga sudah dimaknai sebagai “mengaji.” Membaca artikel-artikel di internet terkadang juga sudah dianggap “mengaji”
Sebenarnya kegiatan tersebut belum bisa dikatakan sebagai “mengaji”, namun lebih tepat bila disebut sebagai salah satu cara dari “mengaji” yang maknanya lebih luas ketimbang sekedar tahlilan, yasinan, membaca, mendengarkan kaset/vcd, mempelajari artikel islami di internet, atau mendengarkan ceramah seorang mubaligh di telivisi. Bila “mengaji”nya hanya melalui telivisi, apa yang kita sebut sebagai “Guru” tidak bisa menegur apabila kita melakukan kesalahan, walaupun mungkin terjadi dialog via telepon namun ada hal yang lebih substansial dari proses belajar mengajar yaitu adanya ikatan batin antara seorang murid dan “guru”. Dengan demikian irsyadi ustadz menjadi syarat mutlak dalam mencari ilmu tidak mulai terabaikan. Perlu diingat bahwa istilah “ilmu” mengalami penyempitan makna sejak Belanda membuat dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Apa yang sekarang disebut “ilmu umum” sebenarnya hanyalah salah satu cabang ilmu Islam itu sendiri. Ilmu Agama (Islam) adalah segala ilmu yang dengan ilmu tersebut dapat mengenal Allah Subhanahu Tabaroka Wa Ta’ala yang selanjutnya digunakan untuk senantiasa muroqobah dan berserah diri pada-Nya (demikian menurut “guru” saya)
Gaya hidup masyarakat “instan” juga mengakibatkan umat Islam lebih menyukai belajar mengenai agamanya secara sepotong-potong. Lihat saja bagaimana umat Islam sekarang lebih tertarik tentang ruqyah ketimbang harus belajar mengenai tata cara wudhu dan sholat, niat sholat fardhu saja belum bisa namun sudah fasih berbicara tentang tasawuf dan segala macam tetek bengeknya, mengenai sholat jenazah dan tata cara merawat mayit/jenazah saja enggan mempelajari eh malah tertarik menonton sinetron yang cenderung mencari-cari kejelekan si mayit/jenazah dan adzab yang diterimanya.
Sah-sah saja seorang Muslim mempelajari ilmu yang aeng-aeng tersebut - karena memang ilmu Islam amatlah luas -, namun yang perlu kita sadari adalah bahwa dalam menacari ilmu ada beberapa etape (tahapan) yang harus dilalui terlebih dahulu.
Agaknya penyempitan makna “mengaji” ini menjadi salah satu agenda besar dari para Musuh Islam untuk menghancurkan Islam secara perlahan-lahan. Mereka mengharapkan umat Islam jauh dari ‘Ulamanya, dengan demikian umat akan mudah dikotak-kotakan dan dipecah belah karena sudah lepas dari komando para ‘Ulama.
Kembali Pada Al-Qur’an Al-Karim
Membaca Al-Qur’an Al Karim saja tidak semua umat Islam bisa, kalaupun yang sudah bisa belum tentu istiqomah dalam sehari membaca, kalaupun yang sudah istiqomah membaca Al-Qur’an belum tentu sudah tartil dan tadabbur ‘ala ma’na. Hufth…begitu sulitkah menjadi Islam ? TIDAK. Yang suka menyulitkan diri adalah kalangan yang membaca huruf hijaiyah dalam Al-Qur’an saja belum mampu namun sudah berkoar – koar tentang hadits sahih, dan yang lebih parah lagi sandarannya sekedar hadits TERJEMAHAN !!! Inilah yang lebih membahayakan.
Maka sungguh benarlah metode para ‘ulama terdahulu, beliau – beliau mengajarkan membaca “alif – ba – ta – tsa” terlebih dahulu untuk selanjutnya mengajarkan ilmu tajwid sebagai bekal untuk membaca Al-Qur’an secara tartil. Agar proses membaca diiringi tadabbur ‘alal ma’na (memahami makna yang terkandung) maka perlu diajarkan pula ilmu nahwu – shorof juga. Inilah bekal awal untuk kita jadikan sarana menjaga kesucian dan kemurnian Al-Qur’an, sebagai benteng awal agar Al-Qur’an selamat dari pendistorsian.
Pada era informasi dan globallisasi dewasa ini, musuh-musuh Islam agaknya pandai memanfaatkan media dengan melakukan penjajahan pemikiran terhadap generasi muda Muslim dengan mencekoki jargon bid’ah, bid’ah, dan bid’ah !!! hadits sahih, sahih, dan sahih !!! Umat islam dijebak mempermasalahan khilafiyah furu’iyah (beda pendapat pada cabang agama) namun sudah lupa untuk membaca Al-Qur’an nya. Umat Islam dibuat lupa pada rukun Islam dan rukun Iman, umat Islam dikondisikan untuk melupakan bagaimana cara wudhu, cara sholat yang benar, umat Islam dibuat sibuk mengurusi masalah “bid’ah”. INGAT bahwa masalah tersebut sudah ada ahlinya, para ‘ulama mujtahid dan bagi kita yang awam mulailah belajar Islam dengan step by step, tidak perlu menambah masalah dengan bersikap seolah – olah sudah tahu.
Situasi dan kondisi perselisihan antara madzhab dan manhaj (yang kayaknya emang dikondisikan demikian agar umat Islam terpecah belah), dimanfaatkan pula oleh penyusup lain dengan menipu sebagian orang “reformis” dan sebagian “cendekiawan” Islam yang –katanya- berpikiran moderat dengan menganggap bahwa masalah syari’at hanyalah menyentuh kulitnya saja, dan yang menjadi inti yang hakiki adalah masalah “hati”, muncullah apa yang disebut tasawuf dan kaum sufi.
Mempelajari Islam secara Kaffah (Menyeluruh)
Paham - paham demikian sesungguhnya hanyalah siasat mereka agar manusia tidak mengetahui ajaran-ajaran Islam secara kaffah, sehingga setiap Muslim hanya mengetahui secara sepotong-sepotong mengenai agamanya sendiri. Dalam bahasa sederhana Abah pernah berkata, “Kenang opo saiki wong Islam ora baggga kelayan ilmu Islam dewe !”. Sungguh !, apa yang dikatakan Abah Syeikh adalah kenyataan yang ada dalam umat Islam sekarang. Umat Islam sekarang lebih memilih mendengarkan pengajian yang bersentuhan dengan masalah “hati” ketimbang mempelajari masalah syar’i. Kajian-kajian seperti “Pacaran dalam kaca mata Islam”, “Bagaimana menjadi Remaja Islami”, lebih menarik minat para remaja Islam ketimbang mempelajari masalah sholat, zakat, puasa maupun haji.
Bila umat Islam saja sudah tidak megetahui lagi mengenai ilmu dan ajaran Islam sendiri, maka berhasillah Musuh-musuh Islam dalam menggiring kaum Muslim menjadi masyarakat “instan”, yang mengamalkan ajaran Islam menurut “selera” hawa nafsunya, yang mempelajari keluasan ilmu Islam dengan hanya memilah-milahnya beberapa cabang ilmu sesuai kesenangannya, yang enggan mempelajari Islam secara runut dan benar pada seorang ‘Ulama. Jangan heran jika saat ini umat Islam akan mudah tertipu pada situs yang “berlabel” Islam namun ternyata isinya hanyalah fitnah keji dan penyesatan.
Dalam setiap “Majlis Ta’lim Muta’alim” (tiap malam Sabtu Kliwon, di kediaman H. Abdul Harits, Manyaran - Semarang) yang notabene dihadiri kalangan terpelajar, Abah Syeikh selalu dan selalu meyampaikan bahwa betapa kaya-nya khazanah Islamiyah, betapa kompleksnya ilmu yang diajarkan di Pondok Pesantren, betapa kelirunya mereka yang beranggapan bahwa Pondok Pesantren identik dengan “kitab kuning” yang sudah tak relevan. Sekali lagi inilah siasat mereka -para musuh Islam- dalam menjauhkan umat Islam dari ajarannya.
Menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan oleh para orientalis itulah, Abah Syeikh dalam setiap waktu dan kesempatan selalu membela eksistensi Pondok Pesantren, dimana Pondok Pesantren seringkali dipojokkan dan di-diskriminasikan sebagai lembaga Pendidikan Islam yang mengajarkan ilmu-ilmu salaf –yang menurut mereka- sudah tidak relevan untuk zaman sekarang. Ironis memang, dan lucunya justru dari kalangan “cendekia” Muslim sudah muncul keraguan atas kitab-kitab Islam sendiri, justru mereka yang mengaku “reformis” (pembaharu) Islam mempertanyakan eksistensi dan relevansi dari kitab salaf sendiri (yang pada jaman penjajahan, Belanda mencibir dengan sebutan “kitab kuning”).
Manfa’at Ber”guru” (Sebuah Proses Yang Terlupakan)
Untuk memperoleh keberkahan ilmu marilah kita ber”guru”, dengan ber”guru kita pasti dapat mempelajari Agama secara kaffah, runut, tertib yang tentu saja sanadnya bersambung hingga kepada Junjungan Baginda Rasulullah SAW.
Apakah sama antara seseorang yang pengetahuannya tentang sesuatu hanya sepotong-sepotong dengan orang yang mempunyai pengetahuan secara urut dan menyeluruh ?. Kebanyakan dari orang yang disebutkan pertama akan mudah tersesat dan terombang-ambing dalam lautan ilmu, mereka tak punya pegangan karena mereka mudah sekali melompat dari satu pemikiran ke pemikiran lainnya. Karena mereka hanya mempelajari beberapa cabang ilmu Islam namun meninggalkan sebagian cabang ilmu lainnya dan karena mereka tak mempelajari ilmu secara urut dan sistematis maka mereka-pun seperti orang yang tak memiliki “peta” untuk mencapai tujuan.
Apakah sama antara orang yang mempelajari Agama secara sendirian dengan orang yang mempelajari Agama secara berjama’ah pada seorang “Guru” ?. Berbeda dengan orang yang terbiasa berjama’ah, orang yang sendirian tanpa “guru” bagaikan orang yang berlayar tanpa nahkoda, tanpa teman, tanpa seseorang yang bisa dimintai pertolongan saat dia membutuhkan. Tidak ada salahnya bila kita menyimak apa yang pernah ditulis oleh beliau Sunan Pakubuwono IV berupa sebuah tembang Dandanggula :
Nanging yen sira nggeguru kaki,
Amiliha manungsa kang nyata,
ingkang becik martabate,
Sarta kang wruh ing hukum,
Kang ibadah lan kang wirangi,
Sukur oleh wong tapa, iya kang wus mungkul,
Tan mikir piwewehing liyan,
Iku pantes yen den gurunana kaki,
Sartane kawruhira.
Terjemahan bebas : “Tetapi apabila engkau berguru, pilihlah orang yang betul-betul pantas, yang baik martabatnya, serta tahu dan taat, kepada hukum(undang-undang), tekun beribadah serta takut kepada Allah SWT dan taat kepada perintah-Nya. Sukur apabila kau dapatkan orang yang suka bertapa, yaitu orang yang sudah meninggalkan segala nafsu duniawi, dan tak mengharap pemberian dari orang lain. Orang yang demikian pantas engaku mintai petunjuk sebagai lantaran atau sarana bertambahnya pengetahuanmu.”
Beberapa Metode Ber”guru”nya para Nabi dan Rasul
Nabi Adam as, insyaallah dalam Al-Qur’an Al Karim QS. Al Baqarah : 33
Nabi Ibrahim as, insyaallah dalam Al-Qur’an Al Karim QS. Al An'am : 75 - 79
Nabi Musa as, insyaallah dalam Al-Qur’an Al Karim QS. Al-Kahfi : 66 Selengapnya dalam QS Al Kahfi : 61 – 82
Nabi Musa as, insyaallah dalam Al-Qur’an Al Karim QS. Al-Kahfi : 66 Selengapnya dalam QS Al Kahfi : 61 – 82
Nabi Daud as, insyaallah dalam Al-Qur’an Al Karim QS. An-Naml : 27
Nabi Isa as, insyaallah dalam Al-Qur’an Al Karim QS. Al Maidah :110
Nabi Muhammad saw, insyaallah dalam Al-Qur’an Al Karim QS An-Nahl :102 - 104
Warisan berharga umat Islam adalah Al-Qur'an, maka siapa lagi kalau bukan kita umat Islam yang mau mempelajari bahasa Al-Qur'an, sesuai firman Allah Subhanahu Tabaroka Wa Ta'ala dalam QS An Nahl : 103 . Untuk menjaganya kita mau tidak mau kitapun harus ber"guru". Selanjutnya, apakah kita masih senang dengan kesendirian tanpa seseorang yang bisa membimbing kita, menunjukkan arah menuju keridhoan-Nya ataukah akan mencari seorang “guru” yang total dalam mencintai muridnya, yang tidak hanya menunjukkan kasih sayang dengan memberi toleransi berlebihan namun juga menunjukkan kasih sayangnya dengan kemarahan ?. Apa yang kita pelajari sekarang dan siapa orang-orang yang berada di sekitar kita akan sangat berpengaruh pada jalan hidup kita setahun, dua tahun atau ratusan tahun kemudian. Selamat ber"guru" dan menjalin persahabatan.
Semoga bermanfa'at.
Saya dedikasikan :
Hatur Tengkyu..... mas @ haniifa