Alhamdulillah, sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan pada Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Bersuci, berwudhu selalu mendapat prioritas pertama dalam setiap kitab fiqh karya karya para 'Ulama Salaf terdahulu. Hal ini membuktikan bahwa kesucian jasmani diharapkan mampu membawa energi tersendiri untuk mensucikan rohani, dengan demikian segala kegiatan kita di alam dunia materi ini harus berjalan beriringan dengan kegiatan spiritual ruhani agar menjadi bekal menghadap illahi.
Hukum Wudhu dan Keutamaannya
Wudhu adalah bersuci dengan air yang dilakukan dengan cara khusus. Kewajiban berwudhu ditetapkan dengan firman Allah swt., QS Al Ma'idah : 6 yang insyaallah kurang lebih artinya.
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit [403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh [404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni'mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur."
[403] Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air. [404] Artinya: menyentuh. Menurut jumhur ialah: "menyentuh" sedang sebagian mufassirin ialah: "menyetubuhi".
[403] Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air. [404] Artinya: menyentuh. Menurut jumhur ialah: "menyentuh" sedang sebagian mufassirin ialah: "menyetubuhi".
Sedangkan dari hadits kita dapati sabda Nabi saw. yang berbunyi, “Allah tidak akan menerima shalat salah seorang di antaramu jika berhadats sehingga berwudhu.” (As Syaikhani)
Abu Hurairah r.a. telah merilis tentang keutamaan wudhu. Bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Tidakkah aku tunjukkan kepadamu tentang amal yang menghapus kesalahan dan meninggikan kedudukan?” Mereka menjawab, “Mau, ya Rasulullah.” Nabi saw. bersabda, “Menyempurnakan wudhu dalam kondisi yang tidak menyenangkan, memperbanyak langkah ke masjid, menunggu shalat setelah shalat. Itulah ribath, itulah ribath, itulah ribath.” (Malik, Muslim, At Tirmidzi, dan An-Nasa’i)
Ribath adalah keterikatan diri di jalan Allah. Artinya, membiasakan wudhu dengan menyempurnakannya dan beribadah menyamai jihad fi sabilillah.
- Membasuh muka, para ulama membatasinya mulai dari batas tumbuh rambut sampai bawah dagu, dari telinga ke telinga
- Membasuh kedua tangan sampai ke siku; yaitu pergelangan lengan
- Mengusap kepala keseluruhannya menurut Imam Malik dan Ahmad, sebagiannya menurut Imam Abu Hanifah dan Asy Syafi’iy
- Membasuh kedua kaki sampai ke mata kaki, sesuai dengan sabda Nabi kepada orang yang hanya mengusap kakinya: “Celaka, bagi kaki yang tidak dibasuh, ia diancam neraka”. Muttafaq alaih
- Niat. Ini menurut Imam Syafi’i, Malik, dan Ahmad sesuai dengan sabda Nabi saw., “Sesungguhnya semua amal itu tergantung niat.” (Muttafaq alaih). Urgensi niat adalah untuk membedakan antara ibadah dari kebiasaan. Namun, tidak disyaratkan melafalkan niat karena niat itu berada di dalam hati.
- Tertib. Maksudnya, berurutan. Dimulai dari membasuh muka, tangan, mengusap kepala, lalu memabasuh kaki. Menurut Abu Hanifah dan Malikiyah, melakukan wudhu dengan tertib hukumnya sunnah.
- Membaca Basmalah. Ini adalah sunnah yang harus diucapkan saat memulai semua pekerjaan. Rasulullah saw. bersabda, “Berwudhulah dengan menyebut nama Allah.” (Al-Baihaqi)
- Bersiwak. Ini sesuai dengan sabda Nabi saw., “Jika tidak akan memberatkan umatku, akan aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali berwudhu.” (Malik, Asy Syaf’iy, Al-Baihaqi, dan Al-Hakim). Disunnahkan pula bersiwak bagi orang yang berpuasa, seperti dalam hadits Amir bin Rabi’ah r.a. berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. tidak terhitung jumlahnya bersiwak dalam keadaan berpuasa.” (Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi). Menurut Imam Syafi’i, bersiwak setelah bergeser matahari bagi orang yang berpuasa, hukumnya makruh.
- Membasuh dua telapak tangan tiga kali basuhan di awal wudhu, sesuai hadits Aus bin Aus Ats-Tsaqafiy r.a. berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. berwudhu dan membasuh kedua tangannya tiga kali.” (Ahmad dan An Nasa’i)
- Berkumur, menghisap [1] air ke hidung dan menyemburkannya keluar. Terdapat banyak hadits tentang hal ini. Sunnahnya dilakukan secara berurutan, tiga kali, menggunakan air baru, menghisap air ke hidung dengan tangan kanan dan menyemburkannya dengan tangan kiri, menekan dalam menghisap kecuali dalam keadaan puasa.([1] Keduanya wajib menurut Imam Ahmad, karena keduanya termasuk dari wajah.)
- Menyisir jenggot dengan jari-jari tangan. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkannya dari Utsman dan Ibnu Abbas r.a.
- Mengulang tiga kali basuhan. Banyak sekali hadits yang menerangkannya
- Memulai dari sisi kanan sebelum yang kiri, seperti dalam hadits Aisyah r.a., “Rasulullah saw. sangat menyukai memulai dari yang kanan ketika memakai sandal, menyisir, bersuci, dan semua aktivitasnya.” (Muttafaq alaih)
- Menggosok, yaitu menggerakkan tangan ke anggota badan ketika mengairi atau sesudahnya. Sedang bersambung artinya terus menerus pembasuhan anggota badan itu tanpa terputus oleh aktivitas lain di luar wudhu. Hal ini diterangkan dalam banyak hadits. Menggosok menurut madzhab Maliki termasuk dalam rukun wudhu, sedang terus menerus termasuk dalam rukun wudhu menurut madzhab Maliki dan Hanbali.
- Mengusap dua telinga, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad dan At-Thahawiy dari Ibnu Abbas dan Al-Miqdam bin Ma’ di Kariba
- Membasuh bagian depan kepala, dan memperpanjang basuhan di atas siku dan mata kaki. Seperti dalam hadits Nabi saw., “Sesungguhnya umatku akan datang di hari kiamat dalam keadaan putih berseri dari basuhan wudhu.”
- Berdoa setelah wudhu, seperti dalam hadits Ibnu Umar r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorangpun di antara kalian yang berwudhu dan menyempurnakannya, kemudian berdo’a: Ø£َشهَدُ Ø£َÙ†ْ Ù„َا إله إلّا اللَّÙ‡ُ ÙˆَØْدَÙ‡ُ لا Ø´َرِيكَ له، وأشْÙ‡َدُ أنَّ Ù…ُØَÙ…َّداً عَبْدُÙ‡ُ Ùˆَرَسُوله Aku Bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Pasti akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan itu, dan dipersilahkan masuk dari mana saja.” (Muslim)
- Sedangkan doa ketika berwudhu, tidak pernah ada riwayat yang menerangkan sedikitpun.
- Shalat sunnah wudhu dua rakaat, seperti dalam hadits Uqbah bin Amir r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorangpun yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian shalat dua rakaat dengan menghadap wajah dan hatinya, maka wajib baginya surga.” (Muslim, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Dari Humran mantan budak Utsman bin Affan r.a. bahwa Utsman minta diambilkan air wudhu, kemudian ia basuh kedua tangannya tiga kali, kemudian berkumur, menghisap air ke hidung, menyemburkannya, lalu membasuh mukanya tiga kali, membasuh tangan kanannya samapai ke siku tiga kali, kemudian yang kiri seperti itu, kemudian mengusap kepalanya, lalu membasuh kaki kanannya sampai ke mata kaki tiga kali, dan yang kiri seperti itu. Kemudian Utsman berkata, “Saya melihat Rasulullah saw. berwudhu seperti wudhuku ini dan Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini kemudian shalat dua rakaat, maka akan diampuni dosanya.’” (Muttafaq alaih)
Yang Membatalkan Wudhu
- Segala sesuatu yang keluar dari dua jalan pembuangan (kencing, tinja, angin, madzi, atau wadi), kecuali mani yang mengharuskannya mandi. Dalilnya adalah firman Allah swt. “… atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan….” (Al-Ma’idah: 6) dan sabda Nabi saw., “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antaramu ketika berhadats sehingga ia berwudhu.” (Muttafaq alaih). Hadats adalah angin dubur baik bersuara atau tidak. Sedangkan madzi adalah karena sabda Nabi saw., “Wajibnya wudhu.” (Muttafaq alaih). Sedangkan wadiy adalah karena ungkapan Ibnu Abbas, “Basuhlah kemaluanmu, dan berwudhulah sebagaimana wudhu untuk shalat.” (Al-Baihaqi dalam As-Sunan).
- Tidur lelap yang tidak menyisakan daya ingat, seperti dalam hadits Shafwan bin ‘Assal r.a. berkata, “Rasulullah saw. pernah menyuruh kami jika dalam perjalanan untuk tidak melepas sepatu kami selama tiga hari tiga malam, sebab buang air kecil, air besar maupun tidur, kecuali karena junub.” (Ahmad, An Nasa’i, At-Tirmidzi dan menshahihkannya). Kata tidur disebutkan bersama dengan buang air kecil dan air besar yang telah diketahui sebagai pembatal wudhu. Sedang tidur dengan duduk tidak membatalkan wudhu jika tidak bergeser tempat duduknya. Hal ini tercantum dalam hadits Anas r.a. yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, Muslim, dan Abu Daud, “Adalah para sahabat Rasulullah saw. pada masa Nabi menunggu shalat Isya’ sehingga kepala mereka tertunduk, kemudian mereka shalat tanpa berwudhu.”
- Hilang akal baik karena gila, pingsan, mabuk atau obat. Karena hal ini menyerupai tidur dari sisi hilangnya kesadaran.
- Menyentuh kemaluan tanpa sekat, membatalkan wudhu menurut Syafi’i dan Ahmad, seperti dalam hadits Busrah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu.” (Al-Khamsah dan disahihkan oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Hibban). Al-Bukhari berkata, “Inilah yang paling shahih dalam bab ini.” Telah diriwayatkan pula hadits yang mendukungnya dari tujuh belas orang sahabat.
- Darah yang mengucur, membatalkan wudhu menurut Abu Hanifah, seperti dalam hadits Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan darah, maka berpaling dan berwudhulah.” (Ibnu Majjah dan didhaifkan oleh Ahmad, dan Al-Baihaqi). Dan menurut Asy-Syafi’i dan Malik bahwa keluarnya darah tidak membatalkan wudhu. Karena hadits yang menyebutkannya tidak kuat menurutnya, juga karena hadits Anas r.a., “Bahwa Rasulullah saw. dibekam dan shalat tanpa wudhu lagi.” Hadits ini meskipun tidak sampai pada tingkat shahih, tapi banyak didukung hadits lain yang cukup banyak. Al-Hasan berkata, “Kaum muslimin melaksanakan shalat dengan luka-luka mereka.” (Al-Bukhari)
- Muntah yang banyak dan menjijikkan, seperti dalam hadits Ma’dan bin Abi Thalahah dari Abu Darda’, “Bahwa Rasulullah saw. muntah lalu berwudhu.” Ia berkata, kemudian aku berjumpa dengan Tsauban di Masjid Damaskus, aku tanyakan kepadanya tentang ini. Ia menjawab, “Betul, saya yang menuangkan air wudhunya.” (At-Tirmidzi dan mensahihkannya). Demikiamlah Madzhab Hanafi. Dan menurut Syafi’i dan Malik, muntah tidak membatalkan wudhu karena tidak ada hadits yang memerintahkannya. Hadits Ma’dan di atas dimaknai istihbab/sunnah.
- Menyentuh lawan jenis atau bersalaman, membatalkan wudhu menurut Mazhab Syafi’i dengan dalil firman Allah swt. Al-Ma’idah ayat 6. Tidak membatalkan menurut Jumhurul Ulama karena banyaknya hadits yang menyatakan tidak membatalkannya. Diantaranya hadits Aisyah r.a., “Bahwa Rasulullah saw. mencium isterinya, kemudian shalat tanpa berwudhu.” (Ahmad dan Imam empat). Juga ucapan Aisyah r.a., “Saya tidur di hadapan Rasulullah dan kakiku ada di arah kiblatnya, jika ia hendak sujud ia memindahkan kakiku.” (Muttafaq alaih). Tidak ada bedanya dalam pembatalan ini, apakah wanita itu isteri atau bukan. Sedang jika menyentuh mahram, tidak membatalkan wudhu.
- Tertawa terbahak ketika shalat yang ada rukuk dan sujudnya, membatalkan wudhu menurut Madzhab Hanafi karena ada hadits, “… kecuali karena tertawa terbahak-bahak, maka ulangilah wudhu dan shalat semuanya.” Sedang menurut jumhurul ulama, tertawa terbahak-bahak membatalkan shalat, tetapi tidak membatalkan wudhu karena hadits tersebut tidak kuat sebagai hadits yang membatalkan wudhu. Juga karena hadits Nabi saw., “Tertawa itu membatalkan shalat, dan tidak membatalkan wudhu.” Demikian Imam Bukhari mencatatnya sebagai hadits mauquf dari Jabir. Pembatalan wudhu karena tertawa membutuhkan dalil, dan tidak ditemukan dalil yang kuat.
- Jika orang yang berwudhu ragu apakah sudah batal atau belum? Tidak membatalkan wudhu sehingga ia yakin bahwa telah terjadi sesuatu yang membatalkan wudhu. Karena hadits Nabi saw. menyatakan, “Jika salah seorang diantaramu merasakan sesuatu di perutnya, lalu dia ragu apakah sudah keluar sesuatu atau belum, maka janganlah keluar masjid sehingga ia mendengar suara atau mendapati baunya.” (Muslim, Abu Daud dan At-Tirmidzi). Sedang jika ragu apakah sudah wudhu atau belum, ia wajib berwudhu sebelum shalat.
Kapan Wudhu Menjadi Wajib dan Kapan Sunnah
Wudhu menjadi wajib jika:
- Untuk shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah. Meskipun shalat jenazah, karena firman Allah swt., “…jika kamu mau shalat, maka hendaklah kamu basuh.” (Al-Maidah: 6)
- Thawaf di Ka’bah, karena hadits Nabi saw., “Thawaf adalah shalat.” (At-Tirmidziy dan Al-Hakim)
- Menyentuh mushaf, karena hadits Nabi saw., “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.” (An-Nasa’i dan Ad-Daruquthni). Demikianlah pendapat jumhurul ulama. Ibnu Abbas, Hammad, dan Zhahiriyah berpendapat bahwa menyentuh mushaf boleh dilakukan oleh orang yang belum berwudhu, jika telah bersih dari hadats besar. Sedangkan membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf, semua sepakat memperbolehkan.
- Ketika dzikrullah. Pernah ada seseorang yang memberi salam kepada Nabi saw. yang sedang berwudhu, dan Nabi tidak menjawab salam itu sehingga menyelesaikan wudhunya dan bersabda, “Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku menjawab salammu, kecuali karena aku tidak ingin menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci.” (Al-Khamsah, kecuali At Tirmidzi).
- Ketika hendak tidur, seperti hadits Nabi saw., “Jika kamu mau tidur hendaklah berwudhu sebagaimana wudhu shalat.” (Ahmad, Al-Bukhari dan At Tirmidzi)
- Bagi orang junub yang hendak makan, minum, mengulangi hubungan seksual, atau tidur. Demikianlah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw oleh Bukhari, Muslim dan muhadditsin lainnya.
- Disunnahkan pula ketika memulai mandi, seperti yang disebutkan dalam hadits Aisyah r.a.
- Disunnahkan pula memperbaharui wudhu setiap shalat, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan kebanyakan ulama hadits. []