(Sekedar Cerita Fiksi, karya santri)
Maaf Pak, sudah menjadi tradisi di Pesantren ini bahwa setiap ada santri baru terutama bagi santri putra, harus bersedia dengan rela untuk mencukur habis rambut kepala. Sebagai bukti bahwa santri tersebut tidak main-main dalam mengaji disini, sebagai bukti bahwa dia mempunyai kemantapan untuk menjadi santri, sebagai bukti bahwa ia ber- Tajdidu Niyat (memperbarui niyat) dalam mengarungi kehidupannya dengan optimisme dan semangat baru tentunya, “ demikian uraian salah seorang Pengurus yang meladeni seorang Ayah yang hendak memondokkan putranya, Zaed.
Ayah Zaed menatap putra bungsunya itu, khawatir kalau-kalau Zaed berontak dengan peraturan tersebut, khawatir kalau ‘diri’ Zaed yang suka berontak mendadak keluar dan meledak saat itu dan tidak menerima peraturan – gundul – itu, jangan-jangan malah Zaed berteriak keras, “Gundulmu itu…!!!”
Merasa pandangan ayah menikamnya, Zaed diam dan membiarkan Sang Ayah membuat kesimpulannya sendiri. Saat Sang Ayah hendak membujuk Zaed untuk menerima segala peraturan yang ada, saat Sang Ayah hendak menjelaskan bahwa setiap manusia beriman dan taat pada Tuhan adalah manusia yang dimanapun berada selalu mentaati peraturan, Zaed malah berkata, “Baik, saya siap melaksanakan”. Suatu jawaban yang diluar dugaan orang tuanya.
Dalam benak Zaed, mendingan gundul, paling banter butuh dua-tiga bulan agar rambutnya kembali panjang, dengan gundul begitu bukankah menghemat sampho dan pengeluaran, ketimbang disuruh menggondrongkan rambut dan tak boleh dicukur – walaupun satu mili – selama tiga bulan, apa nggak malah ketombean, apa nggak lebih memberatkan. Setiap Pesantren punya khushusiyah sendiri-sendiri, maka wajar bila di Pesantren tempat baru Zaed menuntut ilmu menerapkan peraturan itu. Setiap ada santri baru, gundul; santri yang pulang tanpa ijin, gundul; santri yang melakukan pelanggaran berat –namun bukan pelanggaran syari’at-, gundul. Yang mengherankan adalah masih adanya komentar-komentar para orang tua santri yang memprotes peraturan ini, dari yang katanya tidak mempertimbangkan sisi psikologis anak-lah hingga yang katanya hukuman yang tidak mendidik-lah.
Orang tua yang sudah pasrah bongkok’an pada Pesantren terhadap tanggung jawab pendidikan putra-putrinya, seharusnya juga pasrah terhadap peraturan yang ada, sebagai bentuk kepercayaan mereka akan sistem pendidikan yang dipilihnya sendiri. Mungkin saja, pengetahuan minim mereka tentang pendidikan dan kejiwaan membuahkan bakat ngeyelan. Seringkali kita menganggap berat suatu peraturan, karena kita sudah jauh menyimpang dari kewajaran.
Hingga suatu hari, di saat Zaed sudah seminggu nyantri di sini, teman-teman satu genk-nya ingin bertemu dengannya, terbayang ramenya saat mereka bertemu dengan Zaed di ‘ruang loby’ Pesantren. Zaed merasa dirinya kayak ‘pasien’ yang di bezuk teman satu kelas. Mereka sebenarnya heran, bisa-bisanya si Zaed cukup ‘rela’ menjadi santri, lha wong Zaed yang dulu aja kalau di suruh ngaji orang tuanya malah melarikan diri. “What happened to you, Zaed !”. Mereka juga khawatir, kalo-kalo ‘penyakit’ Zaed itu malah menjadi virus dan cepat menular di lingkungan Pesantren, bisa gawat tuh.
Begitu melihat penampilan fesyen Zaed yang 90,95 % santri abis, lengkap dengan sarung dan kopiah, merekapun langsung menginterogasinya. Enak nggak di sini, ada hiburannya nggak kalo lagi bete, di sini boleh nggak main gitar, di sini boleh nggak dengerin musik, dapet ijin nggak kalo pingin lihat konsernya “Netral” ato “Supermen Is Dead” , diijinkan nggak lihat PSIS berlaga di stadion “Diponegoro”. Sampai pertanyaan mereka merambah pada masalah akomodasi, boleh nggak kalo tidur cuman pake celana kolor, ada kasurnya nggak, ngapain pake gundul segala. Pertanyaan aeng-aeng itupun dijawab singkat oleh Zaed, “Gundulmu, itu !!!”. (>>>)
Maaf Pak, sudah menjadi tradisi di Pesantren ini bahwa setiap ada santri baru terutama bagi santri putra, harus bersedia dengan rela untuk mencukur habis rambut kepala. Sebagai bukti bahwa santri tersebut tidak main-main dalam mengaji disini, sebagai bukti bahwa dia mempunyai kemantapan untuk menjadi santri, sebagai bukti bahwa ia ber- Tajdidu Niyat (memperbarui niyat) dalam mengarungi kehidupannya dengan optimisme dan semangat baru tentunya, “ demikian uraian salah seorang Pengurus yang meladeni seorang Ayah yang hendak memondokkan putranya, Zaed.
Ayah Zaed menatap putra bungsunya itu, khawatir kalau-kalau Zaed berontak dengan peraturan tersebut, khawatir kalau ‘diri’ Zaed yang suka berontak mendadak keluar dan meledak saat itu dan tidak menerima peraturan – gundul – itu, jangan-jangan malah Zaed berteriak keras, “Gundulmu itu…!!!”
Merasa pandangan ayah menikamnya, Zaed diam dan membiarkan Sang Ayah membuat kesimpulannya sendiri. Saat Sang Ayah hendak membujuk Zaed untuk menerima segala peraturan yang ada, saat Sang Ayah hendak menjelaskan bahwa setiap manusia beriman dan taat pada Tuhan adalah manusia yang dimanapun berada selalu mentaati peraturan, Zaed malah berkata, “Baik, saya siap melaksanakan”. Suatu jawaban yang diluar dugaan orang tuanya.
Dalam benak Zaed, mendingan gundul, paling banter butuh dua-tiga bulan agar rambutnya kembali panjang, dengan gundul begitu bukankah menghemat sampho dan pengeluaran, ketimbang disuruh menggondrongkan rambut dan tak boleh dicukur – walaupun satu mili – selama tiga bulan, apa nggak malah ketombean, apa nggak lebih memberatkan. Setiap Pesantren punya khushusiyah sendiri-sendiri, maka wajar bila di Pesantren tempat baru Zaed menuntut ilmu menerapkan peraturan itu. Setiap ada santri baru, gundul; santri yang pulang tanpa ijin, gundul; santri yang melakukan pelanggaran berat –namun bukan pelanggaran syari’at-, gundul. Yang mengherankan adalah masih adanya komentar-komentar para orang tua santri yang memprotes peraturan ini, dari yang katanya tidak mempertimbangkan sisi psikologis anak-lah hingga yang katanya hukuman yang tidak mendidik-lah.
Orang tua yang sudah pasrah bongkok’an pada Pesantren terhadap tanggung jawab pendidikan putra-putrinya, seharusnya juga pasrah terhadap peraturan yang ada, sebagai bentuk kepercayaan mereka akan sistem pendidikan yang dipilihnya sendiri. Mungkin saja, pengetahuan minim mereka tentang pendidikan dan kejiwaan membuahkan bakat ngeyelan. Seringkali kita menganggap berat suatu peraturan, karena kita sudah jauh menyimpang dari kewajaran.
Seringkali kita menganggap berat suatu peraturan, karena kita sudah jauh menyimpang dari kewajaran.
Hingga suatu hari, di saat Zaed sudah seminggu nyantri di sini, teman-teman satu genk-nya ingin bertemu dengannya, terbayang ramenya saat mereka bertemu dengan Zaed di ‘ruang loby’ Pesantren. Zaed merasa dirinya kayak ‘pasien’ yang di bezuk teman satu kelas. Mereka sebenarnya heran, bisa-bisanya si Zaed cukup ‘rela’ menjadi santri, lha wong Zaed yang dulu aja kalau di suruh ngaji orang tuanya malah melarikan diri. “What happened to you, Zaed !”. Mereka juga khawatir, kalo-kalo ‘penyakit’ Zaed itu malah menjadi virus dan cepat menular di lingkungan Pesantren, bisa gawat tuh.
Begitu melihat penampilan fesyen Zaed yang 90,95 % santri abis, lengkap dengan sarung dan kopiah, merekapun langsung menginterogasinya. Enak nggak di sini, ada hiburannya nggak kalo lagi bete, di sini boleh nggak main gitar, di sini boleh nggak dengerin musik, dapet ijin nggak kalo pingin lihat konsernya “Netral” ato “Supermen Is Dead” , diijinkan nggak lihat PSIS berlaga di stadion “Diponegoro”. Sampai pertanyaan mereka merambah pada masalah akomodasi, boleh nggak kalo tidur cuman pake celana kolor, ada kasurnya nggak, ngapain pake gundul segala. Pertanyaan aeng-aeng itupun dijawab singkat oleh Zaed, “Gundulmu, itu !!!”. (>>>)