(Sebuah Kritik Terhadap Metode Dakwah Para Da’i)
Alhamdulillah segala puji bagi Allah, sholawat serta salam senantiasa kita haturkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW.
Perlu saya tegaskan sebelumnya, postingan berikut hanya sekedar merangkum apa yang disampaikan oleh “guru besar” kami, Al ‘Ulama kami. Seoarang 'ulama tentu mempunyai kapasitas dan kompetensi untuk mengkritisi 'ulama lain. Namun lain halnya dengan kita, jadi bukan kapasitas saya untuk menilai para da’i (pendakwah) yang sudah mengerahkan segala ketulusan jiwa raga dan harta demi Izzatul Islam, demi mengajak jiwa-jiwa lain menuju jalan “keselamatan”.
Pada suatu kesempatan di dalam Majlis Jalalain (majlis pengajian ba’da subuh dengan kitab pegangan Tafsir Jalalain) panjenengan dalem Abah pernah ngendika : “Jaman mbiyen profesi sing paling diadohi iku mulang agomo, amargo para ‘Ulama zaman kuwi ing dalem dakwah iku ora duwe interest opo-opo!”
Salah satu yang menyebabkan lemahnya umat Islam adalah sistem penyampaian ilmu Al-Qur'an yang tidak tepat. Tidak efektif dalam strategi dakwahnya. Dakwah yang selama ini dilakukan memakai pola “bil-lisan” yang cenderung monolog hanya satu arah. Para ‘Ulama terjebak disini. Masyarakat hanya diberi pilihan hitam putih, neraka surga tanpa mau tahu kenyataan sebenarnya. Da'i hanya berdiri di panggung., mimbar, televisi, dakwah dimana-mana. Tak heran bila dosis dakwah “bil-lisan” yang berlebihan membuat masyarakat menikmatinya layaknya “hiburan”. Muncul anggapan keberhasilan dakwah seseorang bila banyak jama’ahnya, kelucuannya dalam berdakwah. Banyak umat yang terpingkal-pingkal dalam tawa. Dan lagi, banyaknya umat yang sekedar “meninjau” (piknik) ke pondok pesantrennya.
Alhamdulillah segala puji bagi Allah, sholawat serta salam senantiasa kita haturkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW.
Perlu saya tegaskan sebelumnya, postingan berikut hanya sekedar merangkum apa yang disampaikan oleh “guru besar” kami, Al ‘Ulama kami. Seoarang 'ulama tentu mempunyai kapasitas dan kompetensi untuk mengkritisi 'ulama lain. Namun lain halnya dengan kita, jadi bukan kapasitas saya untuk menilai para da’i (pendakwah) yang sudah mengerahkan segala ketulusan jiwa raga dan harta demi Izzatul Islam, demi mengajak jiwa-jiwa lain menuju jalan “keselamatan”.
Pada suatu kesempatan di dalam Majlis Jalalain (majlis pengajian ba’da subuh dengan kitab pegangan Tafsir Jalalain) panjenengan dalem Abah pernah ngendika : “Jaman mbiyen profesi sing paling diadohi iku mulang agomo, amargo para ‘Ulama zaman kuwi ing dalem dakwah iku ora duwe interest opo-opo!”
Salah satu yang menyebabkan lemahnya umat Islam adalah sistem penyampaian ilmu Al-Qur'an yang tidak tepat. Tidak efektif dalam strategi dakwahnya. Dakwah yang selama ini dilakukan memakai pola “bil-lisan” yang cenderung monolog hanya satu arah. Para ‘Ulama terjebak disini. Masyarakat hanya diberi pilihan hitam putih, neraka surga tanpa mau tahu kenyataan sebenarnya. Da'i hanya berdiri di panggung., mimbar, televisi, dakwah dimana-mana. Tak heran bila dosis dakwah “bil-lisan” yang berlebihan membuat masyarakat menikmatinya layaknya “hiburan”. Muncul anggapan keberhasilan dakwah seseorang bila banyak jama’ahnya, kelucuannya dalam berdakwah. Banyak umat yang terpingkal-pingkal dalam tawa. Dan lagi, banyaknya umat yang sekedar “meninjau” (piknik) ke pondok pesantrennya.
Sesudah terhibur, sesudah terpingkal-pingkal dalam tawa, sesudah "piknik" ke pondok pesantren masyarakat lupa sama sekali dengan muatan materi agama yang disampaikan. Sampai di rumah jilbab dicantelkan, kopiah dilipat, sarung ditarik untuk selimut. Benar ? Seperti angin yang berlalu tanpa bekas. Merasa sejuk sesaat setelah itu gelisah lagi. Ini sangat ironis. Bukan berarti dakwah bil lisan tidak efektif.
Apa yang sudah disampaikan panjenengan dalem Abah sebagaimana diatas sungguh terjadi dalam masyarakat kita. Namun tidak setiap kebenaran yang beliau sampaikan, kita berhak meniru untuk menyampaikannya, karena hal itu akan menjebak kita pada sikap tasabbuh (baca : sikap meniru tanpa dibarengi ilmu) atau sikap menganggap diri sendiri seolah-olah sederajat dengan Kiai/’Ulama. Sebagai misal, sentilan beliau “‘Ulama terjebak pada pola da’wah bil-lisan yang cenderung monolog, hanya satu arah.” Tentunya kita setuju bahwa sentilan tersebut walaupun dirasa benar adanya namun tidak tepat bila menjadi pegangan seorang santri/pencari ilmu, sebagaimana kita juga percaya bahwa adagium “pembeli adalah raja” bukanlah konsep yang menjadi pegangan para pembeli melainkan “kalimat sakti” seorang pedagang untuk meningkatkan mutu pelayanan.
Dalam hal ini kita setuju bahwa seorang ‘Ulama tentu
memiliki kompetensi untuk mengkritisi sistem dakwah ‘Ulama lain yang
tentu sudah melalui proses pertimbangan keilmuan. Tentu kita juga
sepakat bahwa “kritik” yang disampaikan panjenengan dalem Abah adalah
semata-mata sebuah koreksi dan evaluasi untuk bersama-sama mencari
sebuah solusi.
Mari kita simak kembali kritisi panjenengan dalem terhadap metode dakwah para Da’i berikut ini, namun kita juga harus bersikap hati-hati jangan sampai kita “menelan mentah” apa yang sudah beliau fatwakan.
Dakwah bil-lisan kurang efektifnya yaitu, bisa jadi orang yang mendengar “celoteh” dari Da'i disaat mendengarkan mengangguk-angguk tanda setuju. Seorang Da'i yang berdakwah di tingkat kampung-kampung kalau tidak lucu pasti membosankan, bikin ngantuk, dan yang mendengarkan bisa-bisa menganggap omog kosong, dongeng belaka. Cerita neraka sudah tidak ada yang takut , cerita surga sudah tidak ada yang kepengin. Sangat beda bila kita mengaji dengan memegang kitab. Kita tidak bisa mengelak dari kenyataan kebenaran Al-Qur'an dan Al-Hadits. Hancurnya umat Islam juga didukung Da'i yang asal-asalan , istilahnya “Da’i Tiban”. Seseorang yang dalam menyampaikan firman-firman Tuhan, ayat-ayat Al-Qur'an maupun hadits bukan seeorang yang mumpuni di bidang agama. Semua orang ingin dianggap “Guru” .
Membaca hal tersebut tentu keri (tergelitik), membuat telinga merah. Namun lain rasanya jika mendengar langsung dari Abah Syeikh, walaupun terasa menusuk dan menelanjangi kita namun tak sedikitpun membuat kita jengkel, dendam atau mungkin membenci karena apa yang beliau sampaikan adalah kebenaran –namun penyampaian tersebut dilandasi dengan cinta kasih -. Hal tersebut sesuai apa yang pernah panjenengan dalem sampaikan bahwa dakwah yang beliau terapkan adalah "dakwah cinta kasih".
Jika yang disampaikan adalah benar, walaupun terkesan keras, lugas dan tegas, yang halal katakanlah halal yang haram katakanlah haram namun jika dalam penyampaian dilandasi mahabbah (cinta kasih-red) terhadap umat –karena tak rela bila umat akan tersesat – maka apa yang disampaikan tersebut akan lebih mengena tanpa meninggalkan “residu” kejengkelan dan kebencian. Berikut juga sering panjenengan dalem sampaikan :
Disetiap RW pasti ada mesjidnya dan dikelola oleh yayasan, mengapa tidak memiliki program pondok pesantren yang mengajinya secara teratur dengan dipandu kitab. Masyarakat cenderung dengan amat mudahnya mengangkat seorang Da'i, Kyai. Sedikit fasih dalam membaca huruf-huruf bahasa arab lalu “memimpin”. Mimpin majelis–majelis Ta’lim. Fungsikan “Rumah Tuhan” sebagai mana mestinya. Jangan sampai masjid itu seperti gudang terkunci rapat hanya dengan alasan takut ada inventaris yang hilang, masjid itu juga bukan museum.
Abah Syeikh juga pernah berpesan bahwa seorang pendakwah sebaiknya tidak hanya berkutat pada metode “Mauidhotu Hasanah” (memberi nasehat yang baik) namun juga harus disertai “Uswatun Hasanah” (memberi suri tauladan yang baik). Dengan uswatun hasanah, seorang pendakwah tentu akan terasa enteng saja menyampaikan kebenaran walaupun pahit rasanya. Dengan kata lain, seseorang akan kesulitan menegakkan kebenaran jika bukan pelaku kebenaran. (*)
QS. Fushshilat : 34, Insyaallah kurang lebih artinya :
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.
Semoga bermanfa’at, kawan.