(Fiksi lagi dulu ya...)
Santri baru ini bernama Zaed, nama yang singkat untuk bocah seusianya, sengaja orang tuanya memberi nama demikian dengan harapan dia selalu mempunyai nilai ‘tambah’. Tambah rejekinya, tambah ilmunya, tambah rajinnya, tambah patuh pada orang tua, dan tambah-tambah lainnya asalkan bukan tambah utangnya, tambah malasnya, tambah bandelnya.
Si Zaed merasa dia bukan bocah bandel atau bocah yang butuh ‘penanganan’ khusus sehingga orang tuanya harus memaksa ia untuk menjadi santri di sini. Maklumlah, masyarakat sekarang menganggap bahwa Pesantren hanya sebagai tempat orang buangan, tempat perawatan anak nakal, yang lebih parah lagi menganggap Pesantren hanya tempat kost-kostan, namun anehnya mereka menuntut produk pesantren harus menjadi anak sholeh, harus ‘alim. Repot kan !!, masuknya ancur-ancuran eee.. keluarnya minta yang macam-macam.
Padahal Zaed sendiri, saat ini, merasa dirinya anak yang introvert, senang dengan kesendirian, suka menyalahkan diri bila mengalami kegagalan, dan sering memberi permakluman…, menyedihkan !!. Guru-guru di sekolah, teman-teman dan orang-orang terdekatnya selalu berpesan, pesan itu sedikit usang dan memberatkan, “Jadilah dirimu sendiri !!!”. Suatu kali ia pernah berdebat dengan temannya, “Coba pikir.., gimana mau menjadi diri sendiri bila kita saja belum tahu ‘diri’ kita yang mana, apakah diri kita yang malas atau diri kita yang pekerja keras, diri kita yang possesive atau diri kita yang agresif.” Kalau dipikir-pikir, benar juga tuh anak punya pendapat, bukankah setiap kita terkadang punya pribadi ganda, bukankah setiap kita selalu menciptakan figur-figur yang dicita-citakan dalam alam idealisme yang terkadang mengalami perubahan atau malah saling bertentangan, dan pada akhirnya menuntun kita untuk bertanya, “Siapa sih diri kita ?”.
Nih anak memang rada-rada aneh, entah ilmu apa yang dipelajarinya, entah buku apa yang dibacanya, entah pengalaman pribadi yang bagaimana yang membuatnya pernah berkata pada orang tua saat membujuknya untuk masuk ke Pesantren, “Aku takkan ke mana-mana, makanya jangan katakan, ‘Kembalilah seperti Zaed yang dulu!!’. Jangan katakan pula ‘diri’ku menghilang, sekali lagi kutegaskan, aku takkan ke mana-mana tapi aku ada di mana-mana.”
Sableng, bukan ?. Makanya jangan heran bila orang tuanya memaksanya untuk masuk ke Pesantren, biar ‘sembuh’ katanya. Padahal bocah seusianya adalah manusia yang mulai memasuki tahap adolesence, tahapan paling rawan, tahapan dimana anak SMU itu harus berjuang mati-matian mencari jati diri yang dirasanya hilang, atau belum ditemukan. Wajar bila tingkahnya aneh-aneh dan sering membuat orang disekelilingnya kerepotan dan harus mencurahkan berbagai bentuk pengawasan.
Sebenarnya sah-sah saja apa yang dilakukan Zaed dan bocah seusianya yang berada dalam masa transisi, masa peralihan dari dunia anak-anak yang penuh imajinasi menuju alam dewasa yang penuh dengan realita. Namun yang paling prinsipil disini, perlunya orang-orang di sekitar Zaed memberi pemahaman pada Zaed dan teman-teman seusianya, bahwa tak perlu mengatakan, “Siapa sih saya ?”. Karena pertanyaan itu hanya akan mematikan karya dan karsa, dan hanya akan menjebak seseorang untuk mencari dan terus mencari siapa dirinya tanpa usaha untuk menciptakan dan membentuk pribadinya. Yang terpenting bukan sekedar mencari ‘jati diri’, tapi harus diiringi menciptakan dan membentuk pribadi. Maka jangan hanya bertanya, siapa saya ?, namun tunjukanlah pada dunia siapa diri kita. (*)
Si Zaed merasa dia bukan bocah bandel atau bocah yang butuh ‘penanganan’ khusus sehingga orang tuanya harus memaksa ia untuk menjadi santri di sini. Maklumlah, masyarakat sekarang menganggap bahwa Pesantren hanya sebagai tempat orang buangan, tempat perawatan anak nakal, yang lebih parah lagi menganggap Pesantren hanya tempat kost-kostan, namun anehnya mereka menuntut produk pesantren harus menjadi anak sholeh, harus ‘alim. Repot kan !!, masuknya ancur-ancuran eee.. keluarnya minta yang macam-macam.
Padahal Zaed sendiri, saat ini, merasa dirinya anak yang introvert, senang dengan kesendirian, suka menyalahkan diri bila mengalami kegagalan, dan sering memberi permakluman…, menyedihkan !!. Guru-guru di sekolah, teman-teman dan orang-orang terdekatnya selalu berpesan, pesan itu sedikit usang dan memberatkan, “Jadilah dirimu sendiri !!!”. Suatu kali ia pernah berdebat dengan temannya, “Coba pikir.., gimana mau menjadi diri sendiri bila kita saja belum tahu ‘diri’ kita yang mana, apakah diri kita yang malas atau diri kita yang pekerja keras, diri kita yang possesive atau diri kita yang agresif.” Kalau dipikir-pikir, benar juga tuh anak punya pendapat, bukankah setiap kita terkadang punya pribadi ganda, bukankah setiap kita selalu menciptakan figur-figur yang dicita-citakan dalam alam idealisme yang terkadang mengalami perubahan atau malah saling bertentangan, dan pada akhirnya menuntun kita untuk bertanya, “Siapa sih diri kita ?”.
Nih anak memang rada-rada aneh, entah ilmu apa yang dipelajarinya, entah buku apa yang dibacanya, entah pengalaman pribadi yang bagaimana yang membuatnya pernah berkata pada orang tua saat membujuknya untuk masuk ke Pesantren, “Aku takkan ke mana-mana, makanya jangan katakan, ‘Kembalilah seperti Zaed yang dulu!!’. Jangan katakan pula ‘diri’ku menghilang, sekali lagi kutegaskan, aku takkan ke mana-mana tapi aku ada di mana-mana.”
Sableng, bukan ?. Makanya jangan heran bila orang tuanya memaksanya untuk masuk ke Pesantren, biar ‘sembuh’ katanya. Padahal bocah seusianya adalah manusia yang mulai memasuki tahap adolesence, tahapan paling rawan, tahapan dimana anak SMU itu harus berjuang mati-matian mencari jati diri yang dirasanya hilang, atau belum ditemukan. Wajar bila tingkahnya aneh-aneh dan sering membuat orang disekelilingnya kerepotan dan harus mencurahkan berbagai bentuk pengawasan.
Sebenarnya sah-sah saja apa yang dilakukan Zaed dan bocah seusianya yang berada dalam masa transisi, masa peralihan dari dunia anak-anak yang penuh imajinasi menuju alam dewasa yang penuh dengan realita. Namun yang paling prinsipil disini, perlunya orang-orang di sekitar Zaed memberi pemahaman pada Zaed dan teman-teman seusianya, bahwa tak perlu mengatakan, “Siapa sih saya ?”. Karena pertanyaan itu hanya akan mematikan karya dan karsa, dan hanya akan menjebak seseorang untuk mencari dan terus mencari siapa dirinya tanpa usaha untuk menciptakan dan membentuk pribadinya. Yang terpenting bukan sekedar mencari ‘jati diri’, tapi harus diiringi menciptakan dan membentuk pribadi. Maka jangan hanya bertanya, siapa saya ?, namun tunjukanlah pada dunia siapa diri kita. (*)