Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sholawat serta salam senantiasa kita haturkan pada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW.
Di Hari Kartini kali ini perlu kiranya saya sekedar menyampaikan apa-apa yang saya dapat dari mauidhoh 'guru' saya tentang wanita. Karier terhebat seorang wanita adalah ibu rumah tangga, demikian dawuh Abah suatu ketika. Suatu ungkapan yang lugas dan tanpa tedeng aling-aling. Seolah menjadi jalan tengan antara kubu pro "wanita karier" yang seringkali menuntut persamaan gender berlebihan dengan kubu anti feminisme yang menempatkan ibu rumah tangga sebagai warga kelas dua.
Mengapa bisa demikian ? Bisa jadi karena lewat ibu rumah tanggalah karakter keluarga terbentuk. Dan kalau mau jeli, menjadi ibu rumah tangga itu tidak semudah yang dibayangkan orang. Banyak sekali ilmu yang diterapkan disini. Dari seni memasak, mengurus dapur, melayani suami, manajemen keuangan, sampai komputasi perhitungan anggaran berjangka. Itulah sedikit gambaran ilmu-ilmu yang diterapkan profesi ini dalam keluarga. Dan jangan lupa, karena lewat ‘sentuhan‘ telaten tangan seorang ibulah akan melahirkan bibit-bibit generasi muda bangsa yang berkualitas, manut dan (Insya Allah) berakhlak. Bukan pekerjaan mudah memang.
Persamaan Gender, Mengada-ada !
Kita percaya, bahwa segala sesuatu itu berangkat dari rumah. Minimal, apa yang kita lakukan atau kita dapatkan bisa dilihat dari kondisi rumah kita. Pasangan hidup yang setia, anak yang taat, suasana rumah yang agamis dan harmonis. Tidak semua orang beruntung mendapatkannya. Bukan barang gratis memang. Butuh kemauan dan pengorbanan yang besar. Apakah sudah cukup dengan kemauan dan pengorbanan ? Ternyata belum, jika masing-masing belum menyadari tujuan awal (starting point) sebenarnya, yaitu agama. Dan ini jelas tidak gampang. Butuh pendalaman ilmu dan waktu yang tidak pendek. Keluarga sakinah. Demikian konsep yang ditawarkan Islam sejak seribu lima ratus tahun silam dalam menjawab tantangan era globalisasi sekarang. Ironisnya, sekalipun terbukti manjur menjaga akhlak keluarga, sebagian kaum wanita ‘menolak’ konsep ini.
Melihat kenyataan sekarang, bukan tidak mungkin bahwa ‘trend’ yang kita anut selama ini salah kaprah, jauh melenceng dari koridor agama. Bukan pula bermaksud menggurui. Telah terbukti banyak remaja harapan bangsa terjerumus tawuran, drugs, sex-retailer, dan sebagainya akibat ‘salah asuhan’ atau kurangnya kasih sayang seorang “Ibu”. Perselingkuhan antar pasutri semakin marak dan menjadi fenomena ganjil yang menjebak pasangan untuk saling menyalahkan. Grafik statistik angka perceraian melonjak fantastis, kurang harmonis dijadikan alasan utama namun enggan mencari solusinya. Salah siapa? Anehnya, zaman – yang tergantung pada sikap manusia sendiri – ikut dipersalahkan juga. Tidak bisa tidak, semua itu sudah menjadi konsekuensi logis yang harus kita terima.
Kenyataan ini seolah menyentak keras kesadaran kita, ternyata kita sudah terlalu lama terlena. Terlena oleh kemasan cantik yang ditawarkan. Salah satunya adalah karena (sejujurnya) kita belum sepenuhnya bisa menerima kenyataan bahwa konsep persamaan (hak) gender itu mengada-ada ! Meski tidak dipungkiri bahwa tidak sedikit manfaat yang kita petik. Kita masih terkesan malu-malu menunjukkan jati diri kita sebenarnya.
Kabeh wis diatur Gusti Allah, menyitir kembali apa yang dingendikaake Abah, bahwa Pria dan Wanita itu jelas beda. Bukan sekedar perbedaan secara fisik-hormonal saja. Tapi bagaimana masing-masing pribadi harus berjalan sesuai sirath atau fungsinya masing-masing. Apa yang kelak akan kita wariskan kepada anak cucu kita juga adalah salah satunya. Bahkan kalau boleh saru, anak bisa kita ‘anggap’ sebagai investasi di akhirat. Bagaimana nasib kita di akhirat tergantung bagaimana kita mendidiknya.
Pembagian Peran
Marilah kembali pada Agama, be ukhrowi-oriented ! Kembalikan semua sektor kehidupan kita pada jalurnya. Islam. Suami harus menempatkan posisinya sebagai “Al-Rijalu”. Sedang istri memposisikan diri sebagai sosok muti’ah. Sosok yang wani ditata. Sosok yang sangat berperan besar terhadap keselamatan (generasi) bangsa selanjutnya. Berawal dari sinilah keluarga sakinah dibangun. Lantas, bagaimana dengan konsep persamaan gender ? Anggap saja sebagai kompensasi yang harus kita bayar mahal untuk sekedar ingin dianggap hidup modern. Tidak lebih !
Ini hanya wacana, sekedar ingin bercermin diri. Apa yang ditulis disini sangat luas sekali korelasinya. Naif rasanya kalau semua dilihat pada satu sisi saja. Dan akan lebih pas lagi jika dibahas oleh sang ‘ahli-ilmu’. Beruntung sekali kita mengaji di tempat Abah. Banyak kejutan, kata orang. Salah satunya adalah ‘konsep’ Ibu Rumah Tangga sebagai karir terhebat seorang wanita.
Pada suatu majlis Abah berkenan membuka rahasia tentang fenomena seorang figur wanita dari kalangan jama’ah kita, yaitu Syarifah (nama laqoban). Melalui Syarifah, kita bisa belajar banyak tentang kemuliaan seorang wanita dan membuktikan sendiri janji yang Allah Subhanahu Tabaroka Wa Ta'ala berikan kepada wanita-wanita (salihah) yang berbakti kepada suaminya. Hitung-hitung ke-ghariban tersebut menambah ghirah kita untuk mengaji.
Tak salah jika profil Syarifah yang langka ditemui zaman sekarang ini layak mendapat gelar pencetus emansipasi wanita sejati yang sebenarnya. Melalui pengembangan wacana ini sebenarnya tidak perlu malu untuk mengakui bahwa apa yang dibutuhkan bangsa ini untuk mengatasi krisis multidimensi adalah sosok-sosok seperti Syarifah yang mukti dengan suaminya. Memasak, ngemong anak, ngladeni suami dengan ikhlas, selalu menaati perintahnya, bertutur kata halus dan menghormati suami, senantiasa siap menanti suami pulang ke rumah dengan berdandan cantik dan senyum mengembang hanya karena mengharap ridha Allah Azza Wa Jalla semata. Dan dia tak mengharapkan balasan atas cinta-kasih yang dicurahkan untuk keluarganya. Ini bukan cerita negeri dongeng. Sungguh ! Konsep ini sudah ditawarkan Islam sejak 15 abad yang lalu. Tidak ada yang kurang, bahkan sangat relevan diterapkan pada masa sekarang.
Masalahnya hanya kemauan saja. Kita toh juga sudah mengaji di tempat Abah. Siap atau tidak, tanyakanlah pada diri kita sendiri. Marilah kita renungkan bersama, apakah Allah Subhanahu Tabaroka Wa Ta'ala ‘mengirim’ kehadiran Syarifah di tengah-tengah kita itu sia-sia? Atau memang faktor kebetulan saja ? Jangan-jangan ini hanya peringatan awal, apakah tidak mungkin akan ada peringatan selanjutnya yang lebih keras lagi dari Allah Ta’ala ? Mengingat pembrengkelan-pembrengkelan kita terhadap Allah Azza Wa Jalla hampir menyentuh tahap tak terampuni. Wallahu a’lam.