Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sholawat serta salam senantiasa kita haturkan pada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW.
Predikat ustadz/kiyai seolah sekarang menjadi sesuatu yang mudah dicari. Masyarakat terkadang semakin tak perduli pada background (latar belakang) intelektualitas keagamaan seorang Kiyai, apakah diperoleh secara “instan” ataukah melalui sebuah metode pendidikan yang valid sanadnya, semisal Pondok Pesantren yang notabene masyhur dengan sanadnya yang terjaga dan selalu mendapat pemeliharaan. Menyikapi perkembangan ditengah-tengah masyarakat kita dengan munculnya wabah ‘demam’ menjadi Ustadz/Kiyai, sebagai santri kita perlu mewaspadai gejala ini. Lebih-lebih menjelang kampanye pemilu, biasanya partai tertentu akan merangkul ustadz/kiyai “bookingan” untuk memuluskan jalan penghimpunan dukungan.
Bukankah hal ini butuh kewaspadaan khusus. Bila perlu kita perlu “siaga satu”. Para ustadz/ kiyai ‘orbitan’ ini disadari atau tidak menimbulkan kerancuan di tengah masyarakat. Tentunya dari segi penguasaan ilmu (agama).
Terkadang seorang intelek bisa mendapat predikat ustadz/kiyai hanya karena kemahirannya berbahasa Arab. Sebagai gambaran, orang Arab yang notabene mahir berbahasa Arab saja tidak lantas semuanya menjadi Ulama ? Apa susahnya bagi orang Arab untuk menjadi Kiai ? Padahal Allah menjanjikan derajat tinggi bagi Ulama. Sebagai perbandingannya di Indonesia, seseorang dengan mudah menjadi ustadz/kiyai dan bahkan tanpa ‘nyantri’ sekalipun, sudah punya cukup keberanian berdebat tentang masalah-masalah hukum Islam hanya bermodal kitab terjemahan, referensi dari internet, atau mahir membaca huruf Arab serta titel akademis yang disandangnya. Apa susahnya ? Dan ini (mungkin) salah satu sebab mengapa 'guru' kita mengharamkan santrinya membaca kitab terjemahan (dengan batasan tertentu) agar kita tidak nggampangke (meremehkan) proses ‘leveling’ tholabul 'ilmi !
Bicara tentang ilmu, 'guru' kita juga pernah berpesan, ”Kalau kamu ditanya tentang bagaimana hukumnya makan babi. Maka jawab saja tidak tahu, atau jawab saja menurut Guru saya, makan babi itu haram!!” Makna apa yang tersirat dari pesan tersebut ? Kenapa harus menyertakan sepenggal kalimat “Menurut guru saya demikian…..” ?. Setiap Muslim mungkin tahu bagaimana hukumnya memakan babi. Namun jarang sekali yang bertindak selalu berdasarkan (kapasitas) ilmu, masalahnya disini bukan haram atau halalnya babi, akan tetapi cara penyampaian hukum tersebut harus sesuai dengan kapasitas ilmu dan kredibilitas sanad yang kita miliki serta harus jeli-jeli meletakkan maqam kita pada tempat yang tepat, yaitu santri.
Idealnya, jika santri ditanya suatu hukum, seharusnya ia memperhatikan kapabilitas atau tingkatan level ilmu yang dimilikinya. Tidak sekedar asal mencomot hadits atau ayat dari suatu kitab sekalipun dia tahu itu relevan sekali dengan masalah tersebut. Dalam hal ini kita bisa mengambil contoh, ”Sing ngerti Wali ya para Wali !”. Jika ada orang mengatakan bahwa Syaikh “Anu” adalah Wali, yang kemungkinan saja memang benar. Masalahnya, apakah orang tersebut tidak meletakkan dirinya sendiri pada maqam Wali (berdasar apa yang diucapkannya) ? Dan berdasar (ilmu) apa orang tersebut mengetahui kewalian orang lain ? Mari, kita biasakan dalam bertingkah laku itu berdasarkan ilmu. Jangan asal tebak dan jangan asal comot. Semua ada ilmunya. Bahkan amalan (ibadah) yang kita kerjakan tanpa ilmu bakal percuma dan tidak akan berguna.
Tidak susah memang, menukil salah satu ayat atau hadits yang kita temukan dalam suatu kitab, atau bahkan dari internet online, kemudian kita memutuskan sendiri suatu masalah laiknya seorang Mujtahid tanpa mempertimbangkan kedalaman ilmu yang kita miliki. Kalau memang demikian, judul di atas “Mau Jadi Ustadz/ Kiyai ? Gampang Koq !” mungkin sudah tidak bisa dibantah lagi !
*** (Sebuah catatan dari sahabat, thank's to...Kang Mujahid).