Alhamdulillah, segala puji bagi Allah
Azza Wa Jalla. Sholawat serta salam senantiasa kita haturkan atas
Baginda Rasulullah SAW, keluarga, shohabat, serta para pengikutnya.
Dalam surat Al-Hujuraat, 49: 6 Allah Azza Wa Jalla telah begitu tegas memberikan panduan kepada kaum muslimin di dalam menyikapi suatu informasi (berita) : telitilah berita yang dibawa atau disiarkan oleh orang-orang fasik. Artinya, jangan mudah percaya begitu saja kepada suatu berita, kabar, opini, atau informasi yang disebarkan oleh orang-orang fasik. Siapakah orang-orang yang disebut fasik itu? Kata fasik berasal dari kata dasar al-fisq, yang berarti "keluar" (khuruj). Para ulama mendefinisikan fasik sebagai "orang yang durhaka kepada Allah SWT karena meninggalkan perintah-Nya atau melanggar ketentuannya." Orang fasik adalah orang yang melakukan dosa besar dan sering melakukan dosa kecil.
Jika tidak cermat, memang tidak mudah bagi kita untuk memahami arti kata fasik. Karena di dalam Al-Qur'an, kata fasik muncul dalam berbagai konteks. Kategori fasik bisa terjadi akibat dosa besar atau dosa kecil. Adapun kategori kafir terjadi akibat tidak beriman atau dosa besar yang memang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam, seperti syirik akbar, meyakini bolehnya meninggalkan shalat fardhu lima waktu dan dosa-dosa lain yang memenuhi syarat untuk menjadikan pelakunya kafir. Jadi, orang fasik belum tentu kafir, tetapi orang kafir sudah tentu adalah fasik. Sebagian ulama mazhab Syafi'i menyatakan bahwa seseorang dapat dikatakan tidak fasik (dengan kata lain bisa disebut seorang ‘adil) apabila kebaikannya lebih banyak dari kejahatannya dan tidak terbukti bahwa ia sering berdusta.
Tingkat penerimaan atau kepercayaan kita terhadap suatu informasi, antara berita atau informasi mengenai masalah agama, yaitu yang bersumber Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan kabar berita masalah lainnya, tidaklah sama. Mengapa dikatakan tidak sama? Bukankah sama-sama kabar/berita/informasi? Islam, memiliki mekanisme yang cukup rapi, terpercaya dan kredibel di dalam konsep penyampaian berita/informasi. Islam menempatkan identifikasi "kefasikan" dan "keadilan" sebagai hal yang penting. Para ulama ahli hadits telah melakukan suatu penelitian dan penilaian terhadap sifat, keadaan dan perilaku seseorang yang meriwayatkan sebuah hadits. Para imam hadits tidak gegabah dalam menerima setiap sanad (isnad) yang disebutkan orang, akan tetapi mereka menyeleksi setiap perawi yang ada dalam sanad dengan ketat. Para perawi hadits itu, diteliti kecerdasannya, akhlaknya, guru-gurunya, dan juga murid-muridnya. Jika tidak jelas, hadits yang bersumber dari perawi tersebut ditolak. Para perawi hadits disyaratkan harus jujur, berakhlak tinggi, cerdas, kuat hafalan (dhabit), adil, dan disiplin. Guru kita memberikan ilustrasi, misalnya jika ada seorang perawi hadits diketahui orang makan di warung sebuah pasar maupun pinggir jalan, maka hadits yang diriwayatkannya sudah tidak mutawatir lagi. Lanjut beliau, susunan tata bahasa suatu hadits juga harus diperhitungkan dengan teliti. Jika susunan tata bahasa suatu hadits tidak balagh, maka berarti hadits ini pasti palsu! Dan untuk mengetahui susunan tata bahasa hadits ini maka ilmu Balaghoh harus dikuasai.
Selanjutnya berdasarkan kriteria-kriteria diatas, maka terdapat kategorisasi hadits ke dalam tiga kelompok, yaitu :
] Hadits Mutawatir, yakni hadits yang diriwayatkan banyak sahabat, banyak tabi'in, dan seterusnya, yang dipastikan mereka tidak mungkin bersepakat berbohong. Hadits tingkat ini dapat diyakini kebenaran secara pasti (tidak diragukan), bahwa kabar atau berita itu berasal dari Rasulullah (Shalallahu 'Alaihi Wa Alihi Wa Sallama).
] Hadits Masyhur, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang sahabat, tetapi tidak sampai mencapai derajat mutawatir, lalu diriwayatkan oleh generasi sesudahnya dengan derajat mutawatir.
] Hadits Ahad, yaitu hadits yang seluruh perawinya, mulai generasi sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in, tidak mencapai derajat mutawatir. Dan dari hadits ahad ini, dikelompokkan lagi menjadi tiga bagian, yaitu:
- Hadits Shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil (tidak fasik), sempurna ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wa Alihi Wa Sallama, tidak mempunyai cacat, dan tidak bertentangan periwayatan orang yang lebih terpercaya.
- Hadits Hasan, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tetapi kurang ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai Rasulullah (Shalallahu 'Alaihi Wa Alihi Wa Sallama), tidak mempunyai cacat, dan tidak bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih terpercaya. Jadi bedanya dengan hadits sahih terdapat pada ketelitian perawi.
- Hadits Dha'if, yakni hadits yang tidak memenuhi syarat sahih maupun hasan.
Selain hadits dha'if ini ada juga jenis hadits-hadits lain yang derajatnya lebih rendah dari hadits dha’if, yaitu: maudhu' (palsu), mursal, munqathi', mu'allaq, mudallas, mudraj, munkar, dan mubham.
Ternyata di dalam ajaran agama Islam – khususnya pada tradisi Pesantren – untuk menerima suatu hadits atau kabar yang diterima dari Rasulullah (Shalallahu 'Alaihi Wa Alihi Wa Sallama), memiliki proses syarat-syarat yang sangat ketat. Ini merupakan aset yang sangat berharga bagi Dien yang lurus ini, dimana agama-agama lain di dunia tidak memiliki mekanisme sumber-sumber berita keagamaan yang dapat dipercaya. Dan lebih menakjubkan lagi, jika kita kumpulkan anak-anak muslim yang hafal beberapa surah dalam Al-Qur'an, berapa banyak mereka, sungguh melimpah ruah, apalagi orang-orang dewasa. Mereka hafal Al-Qur'an karena dibimbing oleh gurunya yang hafal, gurunya dari guru-gurunya dan seterusnya sambung-menyambung hingga terus sampai kepada Rasulullah Muhammad (Shalallahu 'Alaihi Wa Alihi Wa Sallama).
Selanjutnya, akankah kita membiarkan 'ilmu mustholahul hadits ini sirna ?. Akankah tradisi Islam dalam bersikap kritis mengkonsumsi informasi kita biarkan terkikis ? Jangan, kawan. Kritislah sesuai ke’ilmuan dan kemampuan kita, carilah “guru” untuk bertanya, selebihnya pasrahkan pada Allah ‘Azza Wa Jalla.
Semoga bermanfa'at.