Alhamdulillah segala puji
bagi Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Shalawat serta salam semoga
senantiasa terlimpahkan atas Baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Tasawuf merupakan salah
satu aspek (esoteris) Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang
berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba
dengan tuhan-Nya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa
kehidupan rasulullah saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah
hasil kebudayaan islam sebagaimana ilmu –ilmu keislaman lainnya
seperti fiqih dan ilmu tauhid. Pada masa rasulullah belum dikenal
istilah tasawuf, yang dikenal pada waktu itu hanyalah sebutan sahabat
nabi.
Mengetahui hal ini, amat
naif jika kita terburu-buru menganggap tasawuf adalah sesat.
Mempelajari sejarahnya, kita akan segera tahu bahwa tasawuf hanyalah
sebuah usaha para 'ulama terdahulu untuk memberikan “ruh” bagi
keberislaman umat. Namun tidak dipungkiri, usaha tersebut tentu
diwarnai dengan bujuk rayu syaithan yang selalu mencari celah
menyesatkan manusia, dengan cara merusak pondasi aqidah.
Munculnya istilah tasawuf
baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh abu
Hasyimal-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang
namanya. Dalam sejarah islam sebelum timbulnya aliran tasawuf,
terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir
abad I dan permulaan abad II Hijriyyah.
Berawal Dari Sikap Zuhud
Secara etimologis, zuhud
berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik
terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti
mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.
Arti
zuhud secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa
dilepaskan dari dua hal.
Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam
dan gerakan protes[3].
Apabila tasawuf diartikan
adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan
sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu station (maqam)
menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya.
Zuhud disini berupaya
menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu
meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang – kadang
pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu
dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan
tasawuf, yakni ridla, bertemu dan ma’rifat Allah swt.
Kedua, zuhud sebagai moral
(akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya
dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia
dipandang sebagai sarana ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah
swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di sadari bahwa mencintai dunia
akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela). Keadaan seperti ini
telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya[5].
Zuhud disini berarti tidak
merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan, dan tidak
merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi
Abu Wafa al-Taftazani, zuhud itu bukanlah kependetaan atau
terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman
yang membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan
duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan
duniawi itu tidak menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat
mereka mengingkari Tuhannya. Lebih lanjut at-Taftazani menjelaskan
bahwa zuhud adalah tidak bersyaratkan kemiskinan. Bahkan terkadang
seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun zahid. Ustman bin
Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi keduanya
adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki.
Benarkah sikap zuhud
adalah meninggalkan duniawi ?
Zuhud menurut Nabi serta
para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal
duniawi. Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam
menghadapi segala sesuatu, sebagaimana diisyaratkan firman – firman
Allah yang berikut :
Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni'matan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
(QS Al Qashash, 28 : 77)
Sementara dalam hadits
disabdakan : “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup
selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok
hari”
Beberapa Maqam Dalam
Tasawuf
Zuhud merupakan salah satu
maqam yang sangat penting dalamtasawuf. Hal ini dapat dilihat dari
pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam
pembahasan tentang maqamat,meskipun dengan sistematika yang berbeda –
beda.
Al-Ghazali menempatkan
zuhud dalam sistematika : al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-zuhud,
al-tawakkul, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla. Al-Tusi
menempatkan zuhud dalamsistematika : al-taubah,al-wara’,al-zuhd,
al-faqr,al-shabr,al-ridla,al-tawakkul, dan al-ma’rifah.
Sedangkan al-Qusyairi
menempatkan zuhud dalam urutan maqam : al-taubah,al-wara’,al-zuhud,
al-tawakkul dan al-ridla.
Apakah Ada Pengaruh Dari
Agama Lain ?
Para peneliti baik dari
kalangan orientalis maupun Islam sendiri saling berbeda pendapat
tentang faktor yang mempengaruhi zuhud. Nicholson dan Ignaz Goldziher
menganggap zuhud muncul dikarenakan dua faktor utama,yaitu : Islam
itu sendiri dan kependetaan Nasrani, sekalipun keduanya berbeda
pendapat tentang sejauhmana dampak faktor yang terakhir.
Harun Nasution mencatat
ada lima pendapat tentang asal – usul zuhud. Pertama, dipengaruhi
oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh
Phytagoras yang megharuskan meninggalkan kehidupan materi
dalamrangka membersihkan roh. Ajaran meninggalkan dunia dan
berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme
dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang menyatakan
bahwadalam rangka penyucian roh yangtelah kotor,sehingga bisa menyatu
dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan
faham nirwananya bahwa untukmencapainya orang harus meninggalkan
dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu
yang juga mendorong manusia meninggalkan dunia dan mendekatkandiri
kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahman[13]
Sementara itu Abu al’ala
Afifi mencatat empat pendapat parapeneliti tentang faktor atau asal
–usul zuhud. Pertama, berasal dari atau dipengaruhi oleh India dan
Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani.
Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda-
beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari
ajaran Islam. Untukfaktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih
jauh menjadi tiga : Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana
terkandung dalam kedua sumbernya, al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedua
sumber ini mendorong untukhidup wara’[14], taqwa dan zuhud.
Kedua, reaksi rohaniah
kaum muslimin terhadap sistemsosial politik dan ekonomi di kalangan
Islam sendiri,yaitu ketika Islam telah tersebar keberbagai negara
yangsudah barang tentu membawa konskuensi – konskuensi
tertentu,seperti terbukanya kemungkinan diperolehnya kemakmuran di
satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen umat Islam yang
menyebabkan perang saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan
Mu’awiyah,yang bermula dari al-fitnah al-kubraI yang menimpa
khalifahketiga, UstmanibnAffan (35 H/655 M). Dengan adanya fenomena
sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak
inginterlibat dalamkemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau tahu
terhadap pergolakan yang ada,mereka mengasingkan diri agar tidak
terlibat dalam pertikaian tersebut.
Ketiga, reaksi terhadap
fiqih dan ilmukalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam
pengamalan agama Islam. Menurut at-Taftazani, pendapat Afifi yang
terakhir ini perlu ditelitilebih jauh, zuhud bisa dikatakan bukan
reaksi terhadap fiqih dan ilmu kalam, karena timbulnya gerakan
keilmuan dalamIslam, seperti ilmu fiqih dan ilmukalam dan sebaginya
muncul setelah praktek zuhud maupun gerakan zuhud. Pembahasan ilmu
kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya mu’tazilah
kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyyah, lebih akhir lagi ilmu
fiqih,yakni setelah tampilnya imam-imam madzhab, sementara zuhud dan
gerakannya telah lama tersebar luas didunia Islam.
Zuhud itu meskipun ada
kesamaan antara praktek zuhud dengan berbagai ajaran filsafat dan
agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat maupun
agama itu, zuhud tetap ada dalam Islam. Banyak dijumpai ayat
al-Qur’an maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia,
sebaliknya banyak dijumpai nash agama yangmemberi motivasi beramal
demi memperoleh pahala akhirat dan terselamatkan dari siksa api
neraka (QS.Al-hadid :19),(QS.Adl-Dluha : 4),(QS. Al-Nazi’aat : 37 –
40).
Dari Zuhud Ke Tasawuf
Benih – benih tasawuf
sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam
perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad
SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di
gua Hira terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berdzikir
bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan
diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam
melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi
adalahkehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan
iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu
setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak
dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan
kehidupan sufi di abad – abad sesudahnya.
Setelah periode sahabat
berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I dan ke II H).
Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah darimasa
sebelumnya. Konflik –konflik sosial politik yang bermula dari masa
Usman bin Affan berkepanjangan sampai masa – masa
sesudahnya.Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak
terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok Bani
Umayyah,Syiah, Khawarij, dan Murjiah.
Pada masa kekuasaan Bani
Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan
monarki, khalifah – khalifah BaniUmayyah secara bebas berbuat
kezaliman – kezaliman, terutama terhadap kelompok Syiah, yakni
kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya.Puncak
kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin
Alibin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai
pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani
Umayyah yang tak henti – hentinya itu membuat sekelompok penduduk
Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan
memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut
kelompoknya itu dengan Tawwabun (kaum Tawabin). Untuk membersihkan
diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan
sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin oleh
Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H.
Disamping gejolak politik
yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosialpun terjadi.halini
mempunyai pengaruh yang besar dalampertumbuhan kehidupan beragama
masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat,secara
umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana.KetikaBaniUmayyah
memegang tampuk kekuasaan,hidup mewah mulai meracuni masyarakat,
terutama terjadi di kalanganistana.Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai
khalifah tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi SAW serta
sahabat utama dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja –
raja Romawi. Kemudian anaknya,Yazid (memerintah 61 H/680 M – 64
H/683M), dikenalsebagai seorang pemabuk. Dalam sejarah, Yazid dikenal
sebagai seorang pemabuk. Dalam situasi demikian kaummuslimin yang
saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup
zuhud, sederhana, saleh,dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu.
Diantara para penyeru tersebut ialah Abu Dzar al-Ghiffari. Dia
melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam
dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam
Islam.
Dari perubahan –perubahan
kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali
pada kesederhanaan kehidupan Nabi SAW para sahabatnya. Mereka mulai
merenggangkan diri dari kehidupan mewah.Sejak saat itu kehidupan
zuhud menyebar luas dikalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu
disebut zahid (jamak : zuhhad) atau karena ketekunan mereka
beribadah, maka disebut abid (jamak : abidin atau ubbad) atau nasik
(jamak : nussak).
Zuhud yang tersebar luas
pada abad –abad pertama dan kedua Hijriyah terdiri atas berbagai
aliran yaitu :
1. Aliran Madinah
Sejak masa yang dini,di
Madinah telah muncul para zahid.Mereka kuat berpegang teguh kepada
al-Qur’an dan al-sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai
panutan kezuhudannya. Diantara mereka dari kalangan sahabat adalah
Abu Ubaidah al-jarrah (w.18 H.), Abu Dzar al-Ghiffari (w. 22H.),
Salman al-Farisi (w. 32 H.), Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H.),
Hudzaifah ibn Yaman (w. 36 H.). Sementara itu dari kalangan tabi’in
diantaranya adalah Sa’id ibn al-Musayyad (w. 91 H.) dan Salim ibn
Abdullah (w. 106 H.).
Aliran Madinah ini lebih
cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimin (salaf),dan
berpegang teguh pada zuhud serta kerendah hatian Nabi. Selain itu
aliran ini tidak begitu terpengaruh perubahan – perubahan sosial
yang berlangsung pada masa dinasti Umayyah, dan prinsip –
prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat tekanan dari Bani
Umayyah.dengan begitu, zuhud aliran ini tetap bercorak murni Islam
dan konsisten pada ajaran –ajaran Islam.
2. Aliran Bashrah
Louis Massignon
mengemukakan dalam artikelnya, Tashawwuf, dalam Ensiklopedie de Islam
,bahwa pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua aliran zuhud
yang menonjol. Salah satunya di Bashrah dan yang lainnya di Kufah.
Menurut Massignon orang – orang Arab yang tinggal di Bashrah
berasal dari Banu tamim. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis
dan tidak percaya kecuali pada hal – hal yang riil. Merekapun
terkenal menyukai hal- hal logis dalam nahwu, hal – hal nyata dalam
puisi dan kritis dalam hal hadits. Mereka adalah penganut aliran
ahlus sunnah, tapi cenderung padaaliran – aliran mu’tazilah dan
qadariyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Bashri, Malik ibn
Dinar, Fadhl al-Raqqasyi,Rabbah ibn ‘Amru al-qisyi, Shalih al-Murni
atau Abdul Wahid ibn Zaid,seorang pendiri kelompok asketis di
Abadan[18].
Corak yang menonjol dari
para zahid Bashrah ialah zuhud dan rasa takut yang berlebih
–lebihan.Dalam halini Ibn Taimiyah berkata : “Para sufi pertama
–tama muncul dari Bashrah.Yang pertama mendirikan khanaqah para
sufi ialah sebagian teman Abdul Wahid ibn Zaid, salah seorang teman
Hasan al-Bashri.para sufi di Bashrah terkenal berlebih –lebihan
dalam hal zuhud, ibadah, rasa takut mereka dan lain –lainnya, lebih
dari apa yang terjadi di kota – kota lain”[19].Menurut Ibn
Taimiyyah hal ini terjadi karena adanya kompetisi antara mereka
dengan para zahid Kufah.
3. Aliran Kufah
Aliran Kufah menurutLouis
Massignon, berasal dariYaman.Aliran ini bercorak idealistis, menyukai
hal- hal aneh dalam nahwu, hal-hal image dalam puisi,dan harfiah
dalam hal hadits.Dalam aqidah mereka cenderung pada aliran Syi’ah
dan Rajaiyyah.dan ini tidak aneh, sebab aliran Syi’ah pertama kali
muncul di Kufah.
Para tokoh zahid Kufah
pada abad pertama Hijriyah ialah ar-Rabi’ ibn Khatsim (w. 67 H.)
pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Sa’id ibn Jubair (w. 95 H.),
Thawus ibn Kisan (w. 106 H.), Sufyan al-Tsauri (w. 161 H.)
4. Aliran Mesir
Pada abad – abad pertama
dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain, yang dilupakan
para orientalis, dan aliran ini tampaknya bercorak salafi seperti
halnya aliran Madinah. Aliran tersebut adalah aliran Mesir.
Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir,
sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu,misalnya Amru ibn
al-Ash, Abdullah ibn Amru ibn al-Ash yang terkenal kezuhudannya,
al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad.
Tokoh – tokoh zahid
Mesir pada abad pertama Hijriyah diantaranya adalah Salim ibn ’Atar
al-Tajibi. Al-Kindi dalam karyanya, al-wulan wa al-Qydhah
meriwayatkan Salim ibn ‘Atar al-Tajibi sebagai orang yang terkenal
tekun beribadah dan membaca al-Qur’an serta shalat malam,
sebagaimana pribadi – pribadi yang disebut dalam firmanAllah
:”Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam”. (QS.al-Dzariyyat,
51:17). Dia pernah menjabat sebagai hakim diMesir,dan meninggal di
Dimyath tahun 75 H. Tokoh lainnya adalah Abdurrahman ibn Hujairah (w.
83 H.) menjabat sebagai hakim agung Mesir tahun 69 H.
Sementara tokoh zahid yang
paling menonjol pada abad II Hijriyyah adalah al-Laits ibn Sa’ad
(w. 175 H.).Kezuhudan dan kehidupannya yang sederhana sangat
terkenal. Menurut ibn Khallikan, dia seorang zahid yang hartawan dan
dermawan, dll.
Dari uraian tentang zuhud
dengan berbagai alirannya, baik dari aliran Madinah, Bashrah, Kufah,
Mesir ataupun Khurasan, baik pada abad I dan II Hijriyyah dapat
disimpulkan bahwa zuhud pada masa itu mempunyai karakteristik sebagai
berikut :
Pertama : Zuhud ini
berdasarkan ide menjauhi hal – hal duniawi, demi meraih pahala
akhirat dan memelihara diri dari adzab neraka. Ide ini berakar dari
ajaran –ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkena dampak
berbagai kondisi sosial politik yang berkembang dalam masyarakat
Islam ketika itu.
Kedua : Bercorak
praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian buat menyusun
prinsip – prinsip teoritis zuhud. Zuhud ini mengarah pada tujuan
moral.
Ketiga : Motivasi
zuhud ini ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari
landasan amal keagamaan secara sungguh –sungguh. Sementara pada
akhir abad kedua Hijriyyah, ditangan Rabi’ah al-Adawiyyah, muncul
motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa takut terhadap
adzab-Nya.
Keempat : Menjelang
akhir abad II Hijriyyah, sebagian zahid khususnya di Khurasan dan
pada Rabi’ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang
bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf atau sebagai cikal
bakal para sufi abad ketiga dan keempat Hijriyyah. Al-Taftazani lebih
sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’ dan nasik (bukan
sufi). Sedangkan Nicholson memandang bahwa zuhud ini adalah tasawuf
yang paling dini. Terkadang Nicholson memberi atribut pada para zahid
ini dengan gelar “para sufi angkatan pertama”.
Suatu kenyataan sejarah
bahwa kelahiran tasawuf bermula dari gerakan zuhud dalam
Islam.Istilah tasawuf baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah
oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250 H.) dengan meletakkan al-sufy di
belakang namanya. Pada masa ini para sufi telah ramai membicarakan
konsep tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal.Jika pada akhir abad II
ajaran sufi berupa kezuhudan, maka pada abad ketiga ini orang sudah
ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub),
bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan
(liqa’) dan menjadi satu dengan Tuhan (‘ain al jama’)[21].
Sejak itulah muncul karya –karya tentang tasawuf oleh para sufi
pada masa itu seperti al-muhasibi (w. 243 H.), al-Hakim al-Tirmidzi
(w. 285 H.), dan al-Junaidi (w. 297 H.). Oleh karena itu abad II
Hijriyyah dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu tasawuf.
Takhtimah.
Zuhud adalah fase yang
mendahului tasawuf.
Munculnya aliran –aliran
zuhud pada abad I dan II H sebagai reaksi terhadap hidup mewah
khalifah dan keluarga serta pembesar – pembesar negara sebagai
akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syiria,
Mesir, Mesopotamia dan Persia. Orang melihat perbedaan besar antara
hidup sederhana dari Rasul serta para sahabat.
Pada akhir abad ke II
Hijriyyah peralihan dari zuhud ke tasawuf sudah mulai tampak. Pada
masa ini juga muncul analisis –analisis singkat tentang kesufian.
Meskipun demikian,menurut Nicholson,untuk membedakan antara kezuhudan
dan kesufian sulit dilakukan karena umumnya para tokoh kerohanian
pada masa ini adalah orang – orang zuhud. Oleh sebab itu menurut
at-taftazani,mereka lebih layak dinamai zahid daripadasebagai sufi.
Mari berserah diri hanya
pada Allah subhanahu Wa Ta'ala, kawan. Tetaplah tulus menjalankan
ibadah, semampu kita. Namun jangan pula berkata “hanya segini
kempuanku, bro..!!”, hufth... berusahalah sekuat tenaga untuk menjalankan rukun Islam dan mengimani rukun Iman, tidakkah kita takut dengan firman
Allah Subhanahu Wa Ta'ala, insyaallah kurang lebih artinya :
Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan
mereka []. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri
dengan malas. Mereka bermaksud riya [] (dengan shalat) di hadapan
manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali
[]. (QS An-Nisa, 4 : 142)
Maha
benar Allah dengan segala firman-Nya.
Semoga bermanfa'at.
Sumber
:
Al
Qur'an Al Kariim.
http://nurulwatoni.tripod.com/SEJARAH_PEMIKIRAN_TASAWUF.htm