Alhamdulillah, segala puji bagi Allah
Ta’ala yang telah menganugerahkan kita ummat Islam sebuah pusaka, Al Qur'an. Shalawat serta salam senantiasa kita haturkan pada
Kanjeng Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alahi Wa Sallama.
Dalam ilmu tajwid terdapat juga istilah hukum lazim, wajib, haram dan jaiz seperti dalam hukum fiqh. Apakah istilah-istilah tersebut mempunyai juga sanksi atau akibat syar’I seperti dalam hukum fiqh atau ia hanya merupakan istilah saja di kalangan ahli tajwid (shinaa’I) sehingga tidak berakibat pahala dan dosa ?. Dalam hal ini para ‘Ulama berselisih pendapat sebagai berikut :
1. Ulama Mutaqadimin berpendapat bahwa semua istilah hukum dalam tajwid adalah berakibat syar’I, berpahala bagi yang melaksanakan dan berdosa bagi yang melakukan pelanggaran.Dengan demikian setiap kesalahan baik dalam kelompok jali maupun yang khafimembawa akibat haram syar’i. Alasan yang dikemukaan adalah bahwa perintah Allah Subhanahu Tabaroka Wa Ta’ala tentang membaca Al-Qur’an dengan tartil mengandung hukum wajib, oleh karena itu semua peraturan yang mengatur tentang tata cara mentajwidkan Al-Qur’an termasuk dalam perintah wajib.
2. Ulama Muta’akhirin berpendapat bahwa akibat hukum dalam ilmu tajwid itu terbagi dua, yaitu yang berakibat syar’I dan adapula yang shinaa’i. Apabila menyangkut tentang pemeliharaan bentuk huruf atau harokat hingga tidak merubah bunyi ayat atau merusak maknanya disebut dengan wajib syar’I, pelanggarannya adalah haram syar’i. Tetapi apabila menyangkut bidang pemeliharaan ketentuan hukum yang lain seperti wajib idgham, wajib mad dan sebaginya maka masuk dalam wajib shinaa’i. Dapat disimpulkan bahwa pendapat ini condong menjadikan kelompok kesalahan yang jelas haram syar’I dan kesalahan samar menjadi haram shinaa’i.
3. Imam Ibnu Ghaazi pada prinsipnya memberikan pendapat yang sama dengan ‘Ulama Muta’akhirin hanya berbeda dalam memberikan klasifikasinya. Menurut beliau yang masuk wajib syar’I adalah apabila menyangkut semua ketentuan hukum yang disepakati oleh ahli qira’at. Sebaliknya apabila tidak terdapat kesepakatan atau dalam menggunakan ketentuan waqaf atau karena mengikuti petunjunjuk guru sepanjang ada keyakinan tentang kebenarannya maka termasuk wajib shina’i.
Dari tiga pendapat tersebut pendapat Muta’akhirin yang lebih cocok untuk diterapkan. Menetapkan semua ketentuan tajwid menjadi syar’I jelas bukan suatu hal yang mudah dilaksanakan oleh ummat Islam. Pendapat Ibnu Ghaazi yang cukup terperinci itupun masih terlalu berat. Untuk dapat mengetahui mana ketetntuan yang disepakati dan mana yang tidak tentunya memerlukan pengetahuan yang cukup luas. Oleh karena itu lebih tepat pendapat Muta’akhirin yang menganggap ketentuan-ketentuan yang bukan termasuk dalam kesalahan jali, bagi pelanggarnya adalah shina’I yang tidak berakibat dosa tapi hanya cacat menurut dunia qira’at. Walaupun sanksi syara’ tidak ada tapi bagi seorang qari’ yang dikenal telah berilmu sanksi cacat atau aib itu sudah cukup berat bagi dirinya. Disdamping itu tidak pula terlalu menakutkan bagi masyarakat awam untuk membaca A-Qur’an.
Semoga bermanfa'at.
Selamat bertadarus, kawan...
Ga perlu takut salah, niatin belajar ajah...