Nama anak itu Samaranji, tapi bukan Samaranji Sang Penguasa Tunggal Tahta Kerajaan Debu Semesta yang kesohor di seantero jagad perbloggeran Indonesia. Ada banyak nama Samaranji di dunia, anak itu juga enggak tahu koq dikasih nama begitu sama orang tuanya. Pernah suatu ketika temannya dari Bali malah memanggilnya dengan Samaran Ji, katanya "Ji" itu sebutan untuk orang suci sedangkan "Samaran" dianggap sebagai penyamaran, pernah juga ada yang jengkel dengan anak itu hingga memanggilnya dengan Samar Anji*g.
Pembeli mulai sepi di SPBU terpencil tempat si Samaranji bekerja, biasanya mulai pukul 10 malam. Dibukanya buku itu dengan menyebut nama Tuhan Penguasa Alam, begitulah ia diajarkan. Baru saja membuka halaman pertama di ruangan mess terdengar teriakan "Goooooooll!" Haha... akhirnya setelah tadinya 2-0 kini Arsenal mengejar kekalahannya dari Tottenham, Samaranji senang walaupun tidak bisa langsung menyaksikannya. Hanya dua teman yang beruntung menyaksikan, seorang security malam dan office boy, sedangkan dia dan ketiga temannya menjalankan tugasnya di luar. Temannya yang satu tampak tersenyum lebar karena mulai merasakan bakal menang taruhan.
Si Samaranji melanjutkan lagi membaca setelah tadi terinterupsi, kali ini ia mau lebih konsentrasi. Baru saja membaca sepertiga bagian, ia mulai bosan. Ia gak biasa membaca novel, melelahkan, apalagi jika novelnya tebal semacam karya JK Rowling itu, untunglah novel yang dikasih Olivia itu enggak setebal itu, pikirnya. Dalam benaknya ia akan mengatakan sesuatu pada Olivia, "Jika saja novel ini sampai kepadaku lima tahun yang lalu, tentu saya akan berseru, uuugh... keren Liv, keren nih novel," yaah tentu saja ia akan mengatakan begitu, namun sayang novel ini dibacanya sekarang.
Mengapa sekarang, pikirnya, mengapa sekarang setelah saya sudah membaca kisah Melkhisedek dalam Al Kitab dimana saya menemukan benang merah dengan kisah Nabi Khidir (ha-dho-ro/ yang selalu hadir) yang menjadi "guru" Nabi Musa a.s. Setelah saya membaca Law of Atrraction, setelah saya membaca Universe Space, setelah saya membaca teori dunia yang paralel, setelah saya membaca teori g-string yang menjelaskan bahwa alam semesta ini terdiri dari 11 dimensi, dan kita manusia hanyalah makhluk 3 dimensi, kenapa sekarang?
Samaranji mulai menyimpulkan, kisah dalam novel ini terinspirasi dari beberapa kitab suci, kisah ini tentu terinspirasi dari pencarian makna hidup dari pengarangnya sendiri, Paulo Coelho, yah... banyak fiksi yang bersifat half-fiction. Fiksi yang terinsiprasi dari kisah nyata dan pada akhirnya akan menginspirasi pada kehidupan nyata. Penuturan Coelho tentang tokoh utama sangat unik, hanya disebutnya sebagai "Anak kecil itu"... seorang gembala, juga pernah berdagang untuk mengejar impian. Hmmm, mendengar gembala selalu saja mengingatkan Samaranji pada sosok Nabi Muhammad SAW, Nabi Isa a.s, dan Sri Krishna.
Semakin malam, semakin sepi. Tepat jam 12.00 dia dan ketiga temannya menutup SPBU, begitulah aturannya. Istirahat sambil berjaga, dan membuka kembali jam 04.00 esok paginya, seringkali para operator itu malah melihat bola, atau kadang main PS untuk sekedar melawan kantuk mereka. Dan Samaranji... mau melanjutkan lagi membacanya, hingga dua temannya menawarkan, "Sam... kami mo keluar beli nasi goreng. Nitip nggak?". "Oke..., pake telor, yang pedes, jeruk angetnya satu" sahut Samaranji sambil nyodorin selembar lima ribu, "Kalo uangnya kurang, tambahin dulu...." Halah biasaaa, batin temannya.
Tibalah akhirnya si Samaranji di bagia akhir cerita, "Wooww, bahasa alam semesta?" dia bertanya dalam hati, lalu diiringi senyum sinis tak simetris. "Haha... seandainya saja kamu tahu, Liv. Seandainya kamu tahu dan percaya..." ujarnya lirih seakan ingin mengatakan itu pada Olivia. Yaah... seandainya saja Olivia tahu, waktu kecil Samaranji dianggap aneh karena sering duduk kadang berbaring di bawah pohon kresen depan rumahnya, sepulang sekolah anak TK itu memandang langit biru, awan yang kadang tampak tersenyum lembut, kadang sedih, dan tak jarang menunjukkan amarah. Sambil menatap langit biru, bocah itu bertanya, "Tuhan, apakah Engkau di sana? bolehkah aku bersama-Mu?" "Mengapa Kau ciptakan aku, Tuhan? Kemungkinan apa jika aku tak Kau ciptakan, apakah aku ada atau tak ada amun ada entah dimana?", dan pertanyaan pertanyaan sableng lainnya untuk anak seusianya hingga ia lelah, tertidur dan kakeknya selalu membopong memindahkan bocah itu untuk tidur siang di tempat yang lebih nyaman, ranjang.
Bahasa semesta, yah itulah mungkin point utama dalam novel "Al Chemist" ini, pikir Samaranji. Al Kemis misterius yang menjadi gosip dunia bernama Fulcaneli, berasal dari mana dan menghilang kemana tiada yang tahu. Al Kemis adalah orang yang bisa merubah logam apapun menjadi emas. Namun tema itu sekarang enggak ngetrend, jadul, siapapun bisa mengubah segalanya menjadi emas, bahkan sampahpun bisa menjadi emas, seorang pemulung yang ulet, giat dan hemat akan mampu merubah sampah yang digeluti menjadi sebongkah emas, ini tidak asing. Tema macam itu kini tereduksi dalam "fisika quantum". Bahwa masing-masing kita, bahkan benda2 yang ada di langit, bumi dan antara keduanya, semesta raya ini semuanya berjiwa, dan jiwa jiwa itu terhubung dalam bahasa yang sama, bahasa semesta.
Hufth.... Samaranji menghela nafas sejenak, membaca halaman novel yang mengisahkan kedahsyatan anak kecil itu yang mampu merubah dirinya menjadi angin, pasir di padang gurun membumbung tinggi diangkasa menyelimutinya, hanya dengan bahasa semesta. "Andai saja kamu tahu, Liv," sekali lagi anak itu berujar lirih. "Andai saja kamu tahu, akupun bisa melakukannya, walaupun tak sedahsyat si anak kecil dalam novel," dan Samaranji mengingat kejadian saat pulang sekolah hujan lebat mengguyur bumi, teman temannya ingin segera reda, iapun juga. Ia memandang langit, menggertak hujan dalam bahasa semesta, dan kita tentu bisa menebaknya, r-e-d-a, keberuntungan pemula...Samaranji juga mulai mengingat kembali saat saat bekerja dimana panas terik membuat segalanya menjadi mendidih, bahkan mendidihkan darah hingga mengganggu SPO seorang pelayan yang harusnya ramah, ia memandang langit, melirik awan dan berkomunikasi dalam bahasa semesta, dan kita bisa menebaknya, sengatan matahari tertutup awan yang mulai berbaik hati.
*********
Catatan : Cerita di atas hanya fiktif belaka. Semoga bermanfa'at. Terima kasih.